"Apabila pernikahan tersebut dilakukan secara siri (diam-diam) dan belum dicatatkan, maka pernikahan tersebut melanggar UU Perkawinan."
Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Gamawan Fauzi mengemukakan, kesepakatan damai (islah) antara Bupati Garut Aceng HM Fikri dengan mantan istrinya yang dinikahi hanya bertahan empat hari, Fany Oktora, tidak menyelesaikan pelanggaran etika dan pelanggaran UU Perkawinan yang dilakukan Bupati tersebut.
Aceng tetap dinyatakan melanggar etika pemerintahan dan UU perkawinan. Karena itu, yang bersangkutan masih dapat diproses untuk diberhentikan.
"Islah tidak mengabaikan pelanggaran yang terjadi. Islah hanya menghentikan kasus perdata antara bupati dan mantan istrinya. Jadi Bupati Garut masih dapat diproses atas pelanggaran yang terjadi," kata Gamawan sebelum menghadiri acara serah terima DAK2 dari Mendagri Kepada Ketua KPU di kantor Kemendagri, Kamis (6/12).
Sebelumnya, pada Rabu (5/12) malam, Bupati Aceng bertemu dengan Fany. Dalam pertemuan itu, Aceng mengungkapkan keinginannya untuk menyudahi konflik yang dianggapnya telah meresahkan masyarakat.
"Islah itu adalah mengurai benang yang kusut, mencairkan yang beku. Kalau kita anggap kemarin ada benang yang kusut mari kita urai, ada yang beku, mari kita cairkan. Kalau ada yang putus mari kita sambungkan kembali," ungkapnya.
Gamawan menjelaskan proses pemberhentian diserahkan kepada DPRD Garut, karena mekanismenya melalui lembaga dewan tersebut. Yang penting bagi pemerintah pusat adalah menyatakan Aceng melanggar hukum.
"Silakan DPRD Garut proses. Mekanismenya dari sana. Kecuali kalau mereka minta pendapat maka kami akan berikan pandangan. Bupati Garut berpeluang diberhentikan apabila DPRD Garut menyatakan pendapat bahwa Bupati telah melanggar sumpah janji dan kewajiban yang diputuskan melalui rapat paripurna dihadiri 3/4 jumlah anggota dan disetujui 2/3 anggota yang hadir. Pernyataan pendapat tersebut disampaikan ke Mahkamah Agung (MA), dan bila MA menyetujui maka DPRD mengusulkan pemberhentian Bupati kepada Presiden," ujarnya.
Mantan Gubenur Sumatera Barat ini mengemukakan, pernikahan Bupati Garut sangat bertentangan dengan UU No 1 Tahun 1974 Pasal 2 tentang perkawinan. Dalam UU tersebut dinyatakan tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut perundang-undangan yan berlaku.
Dengan usia perkawinan yang hanya empat hari dan proses perceraian hanya lewat pesan singkat (short message service-SMS), sangat mustahil untuk dicatatkan menurut UU yang berlaku.
"Jadi, Bupati Garut telah melanggar perundang-undangan yang berlaku yang merupakan kewajibannya. Apabila pernikahan tersebut dilakukan secara siri (diam-diam) dan belum dicatatkan, maka pernikahan tersebut melanggar UU Perkawinan," ujarnya.
Sementara terkait pelanggaran etika, Kapuspen Kemendagri Reydonnyzar Moenek mengemukakan Bupati Garut dinilai tidak mampu menjaga etika, kepatutan, dan membangun komitmen untuk menjadikan dirinya sebagai teladan tentang kebaikan.
Bupati Garut gagal menjadi panutan dan penjaga moral bagi warganya. Karena itu, Bupati Garut layak untuk diberhentikan.
Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Gamawan Fauzi mengemukakan, kesepakatan damai (islah) antara Bupati Garut Aceng HM Fikri dengan mantan istrinya yang dinikahi hanya bertahan empat hari, Fany Oktora, tidak menyelesaikan pelanggaran etika dan pelanggaran UU Perkawinan yang dilakukan Bupati tersebut.
Aceng tetap dinyatakan melanggar etika pemerintahan dan UU perkawinan. Karena itu, yang bersangkutan masih dapat diproses untuk diberhentikan.
"Islah tidak mengabaikan pelanggaran yang terjadi. Islah hanya menghentikan kasus perdata antara bupati dan mantan istrinya. Jadi Bupati Garut masih dapat diproses atas pelanggaran yang terjadi," kata Gamawan sebelum menghadiri acara serah terima DAK2 dari Mendagri Kepada Ketua KPU di kantor Kemendagri, Kamis (6/12).
Sebelumnya, pada Rabu (5/12) malam, Bupati Aceng bertemu dengan Fany. Dalam pertemuan itu, Aceng mengungkapkan keinginannya untuk menyudahi konflik yang dianggapnya telah meresahkan masyarakat.
"Islah itu adalah mengurai benang yang kusut, mencairkan yang beku. Kalau kita anggap kemarin ada benang yang kusut mari kita urai, ada yang beku, mari kita cairkan. Kalau ada yang putus mari kita sambungkan kembali," ungkapnya.
Gamawan menjelaskan proses pemberhentian diserahkan kepada DPRD Garut, karena mekanismenya melalui lembaga dewan tersebut. Yang penting bagi pemerintah pusat adalah menyatakan Aceng melanggar hukum.
"Silakan DPRD Garut proses. Mekanismenya dari sana. Kecuali kalau mereka minta pendapat maka kami akan berikan pandangan. Bupati Garut berpeluang diberhentikan apabila DPRD Garut menyatakan pendapat bahwa Bupati telah melanggar sumpah janji dan kewajiban yang diputuskan melalui rapat paripurna dihadiri 3/4 jumlah anggota dan disetujui 2/3 anggota yang hadir. Pernyataan pendapat tersebut disampaikan ke Mahkamah Agung (MA), dan bila MA menyetujui maka DPRD mengusulkan pemberhentian Bupati kepada Presiden," ujarnya.
Mantan Gubenur Sumatera Barat ini mengemukakan, pernikahan Bupati Garut sangat bertentangan dengan UU No 1 Tahun 1974 Pasal 2 tentang perkawinan. Dalam UU tersebut dinyatakan tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut perundang-undangan yan berlaku.
Dengan usia perkawinan yang hanya empat hari dan proses perceraian hanya lewat pesan singkat (short message service-SMS), sangat mustahil untuk dicatatkan menurut UU yang berlaku.
"Jadi, Bupati Garut telah melanggar perundang-undangan yang berlaku yang merupakan kewajibannya. Apabila pernikahan tersebut dilakukan secara siri (diam-diam) dan belum dicatatkan, maka pernikahan tersebut melanggar UU Perkawinan," ujarnya.
Sementara terkait pelanggaran etika, Kapuspen Kemendagri Reydonnyzar Moenek mengemukakan Bupati Garut dinilai tidak mampu menjaga etika, kepatutan, dan membangun komitmen untuk menjadikan dirinya sebagai teladan tentang kebaikan.
Bupati Garut gagal menjadi panutan dan penjaga moral bagi warganya. Karena itu, Bupati Garut layak untuk diberhentikan.