Jakarta - Kebijakan Pemerintah Australia di bawah kendali Perdana Menteri Tony Abbot, yang mengusir kembali para imigran gelap dari wilayah perairan Australia ke wilayah perairan Indonesia, disesalkan sejumlah pihak, termasuk pimpinan komisi pertahanan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
"Pertama, tindakan ini telah melanggar HAM dan konvensi internasional tentang perlindungan terhadap imigran," tegas Wakil Ketua Komisi I DPR, Tubagus Hasanuddin, di Jakarta, Sabtu (8/2).
Selain itu, tindakan Australia itu juga dianggap dapat menimbulkan ketegangan bahkan konflik politik.
Juga tidak mustahil akan menjadi konflik militer antara Australia dengan Indonesia bila Australia terus-terusan melakukan "provokasi" dengan mengembalikan para imigran-imigran itu.
"Karena Indonesia bukan negara asal imigran," imbuhnya.
Seharusnya, menurut dia, Australia mencari solusi yang lebih komprehensif dengan cara melakukan kordinasi dengan negara-negara yang dilintasi seperti Indonesia, Singapura, Malaysia, serta dengan negara asal seperti Irak, Afghanistan, Pakistan dan dengan badan pengungsi UNHCR di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Hasanuddin bercerita, pada sekitar 1975 dan 1980-an, Indonesia punya pengalaman menerima ratusan ribu imigran gelap dari Vietnam dan semuanya dapat diselesaikan dengan baik-baik tanpa menimbulkan ketegangan di kawasan.
Sementara Australia justru menggunakan cara-cara yang bisa dianggap tak beradab dan seakan sengaja hendak membunuh para imigran itu.
Sebagai ilustrasi, kata dia, saat ini lebih dari 60.000 imigran diperkirakan sedang dalam persiapan di sekitar Malaysia dan menuju Australia.
Apabila imigran itu berangkat sekaligus, Hasanuddin memprediksi cara-cara yang diambil oleh Australia hanya akan menambah persoalan semakin rumit dan bisa saja akan terjadi kematian massal di laut.
"Mengembalikan imigran yang sudah kesakitan dan kelaparan dapat dianggap sebagai pembunuhan massal yang sangat memalukan dan tak beradab," tegasnya.
Saksikan live streaming program-program BeritaSatu TV di sini