onakry, Beritasatu.com- Pemimpin kudeta Guinea, Mamady Doumbouya dilantik sebagai presiden sementara, Jumat (1/10/2021). Seperti dilaporkan Al Jazeera, Mamady Doumbouya berjanji bahwa dia maupun anggota pemerintahan militer tidak akan ikut dalam pemungutan suara pada masa depan.
Kolonel Mamady Doumbouya bersumpah untuk menghormati komitmen internasional negara Afrika Barat saat transisi ke pemerintahan sipil. Sang kolonel dilantik pada Jumat (1/10) oleh Ketua Mahkamah Agung Mamadou Sylla untuk masa transisi yang lamanya tidak ditentukan. Doumbouya memimpin penggulingan Presiden Alpha Conde pada 5 September 2021.
Misi pemerintahan Doumbouya adalah untuk “membangun kembali negara”. Dia ingin merancang konstitusi baru, memerangi korupsi, mereformasi sistem pemilu dan kemudian menyelenggarakan pemilu yang “bebas, kredibel, dan transparan”.
Doumbouya sekali lagi tidak mengatakan apa-apa pada saat pengambilan sumpahnya tentang berapa lama dia akan bertahan menjadi pemimpin sementara.
Presiden baru juga berjanji untuk "menghormati semua komitmen nasional dan internasional yang telah dianut negara itu".
Mengenakan seragam krem, baret merah, dan kacamata hitam, pemimpin nasional yang baru juga bersumpah untuk “dengan setia menjaga kedaulatan nasional”. Dia juga akan mengonsolidasikan pencapaian demokrasi, menjamin kemerdekaan tanah air dan integritas wilayah nasional.
Upacara diadakan di istana Mohammed-V di Conakry pada malam hari libur umum untuk merayakan deklarasi kemerdekaan tahun 1958 dari Prancis.
Doumbouya akan menjabat sebagai presiden transisi sampai negara itu kembali ke pemerintahan sipil, menurut cetak biru yang diresmikan oleh pemerintah militer pada hari Senin yang tidak menyebutkan batas waktu.
Kudeta 5 September merupakan pertarungan turbulensi terbaru di salah satu negara paling bergejolak di Afrika. Kudeta itu menjadi penggulingan Presiden Conde yang berusia 83 tahun.
Conde menjadi presiden pertama Guinea yang terpilih secara demokratis pada tahun 2010 dan terpilih kembali pada tahun 2015. Tetapi tahun lalu, Conde mendorong konstitusi baru yang kontroversial yang memungkinkan dia mencalonkan diri untuk masa jabatan ketiga pada Oktober 2020.
Langkah itu memicu demonstrasi massal di mana puluhan pengunjuk rasa tewas. Conde memenangkan pemilihan ulang tetapi oposisi politik mempertahankan jajak pendapat itu palsu.
Turbulensi di Guinea, negara bekas jajahan Prancis, telah memicu keprihatinan mendalam di antara negara tetangga. Kudeta tersebut adalah yang kedua terjadi di kawasan itu, setelah Mali, dalam waktu kurang dari 13 bulan.
Blok kawasan itu, Komunitas Ekonomi Negara-negara Afrika Barat (Ecowas), menuntut agar pemilihan diadakan dalam waktu enam bulan, serta pembebasan Conde.
Saksikan live streaming program-program BeritaSatu TV di sini
Sumber: BeritaSatu.com