Jakarta, Beritasatu.com - Pandangan tentang agama dan kekuasaan menjadi materi yang sulit ditemukan relasinya oleh para tokoh pemikir Islam seperti Ibnu Khaldun, Al Mawardi, maupun Ibnu Taimiah. Hal ini lantaran para pemikir Islam itu menilai yang terpenting bukan bentuk kekuasaan, melainkan bagaimana kekuasaan itu dijalankan.
Hal ini mengemuka dalam diskusi buku "Negara Rasional dan Farewell Party" karya Abdul Aziz, Jumat (15/10/2021). Diskusi itu menghadirkan Ketua Umum Partai Gelora, Anis Matta; peneliti LIPI, Hamdan Basyar, Direktur Eksekutif Indo Barometer, M Qodari, dan Helmy Wahid dari PBNU.
Anis Matta dalam paparannya mengatakan, analisis dalam buku karya Abdul Aziz menggambarkan seputar perkembangan dari entitas umat Islam kepada entitas yang lebih menyeluruh, yakni tentang negara dan kekuasaan. Dikatakan, bentuk negara dalam Islam fleksibel tergantung hasil kesepakatan.
"Islam mempunyai referensi model, sementara bentuk negara dalam Islam tidak kaku, tapi fleksibel. Karena tergantung ruang dan waktu dan jelas semua adalah hasil kesepakatan," ungkap Anis Matta.
Kata Anis Matta, saat ini semakin terlihat model-model kepemimpinan lebih menyesuaikan dengan kondisi yang berkembang. Semacam ada siklus perubahan.
"Bahkan preferensi kepemimpinan juga berkembang tergantung pada referensi, luas wilayah, jumlah populasi, dan sekarang teknologi. Jadi dalam sistem kepemimpinan itu, hasil kesepakatan bersama jauh lebih penting daripada model," ungkap Anis Matta.
Peneliti LIPI, Hamdan Basyar mengatakan, dalam buku Abdul Azis ini digambarkan dengan sangat baik tentang ashobiah atau solidaritas dari pemikiran Ibnu Khaldun. Dikatakan, jika sekelompok orang ingin berkuasa, maka bentuk kepemimpinan atau kekuasaan itu bukan yang utama, tapi bagaimana kekuasaan itu akan dijalankan.
"Maka solidaritas itu dijadikan sebagai keutamaan. Di sinilah maka ashobiah dilihat sebagai solidaritas kelompok yang kuat," jelasnya.
Dalam buku Abdul Azis ini, lanjut Hamdan, digambarkan juga bagaimana Ibnu Khaldun menyatakan kekuasaan itu tidak berkaitan dengan agama. Dengan demikian, tanpa agama pun kekuasaan akan terus ada, karena bagaimana pun orang beragama tidak akan menyurutkan adanya kekuasaan.
"Kalau ada orang ingin membuktikan kekuasaan dari sisi agama, maka tidak ada buktinya. Yang bisa dilihat adalah solidaritas dan itu yang lebih penting," tegasnya.
Sementara itu, M. Qodari lebih banyak menyampaikan sosok penulis buku, yakni Abdul Aziz. Pakar politik itu menuturkan pertama kali bertemu Abdul Aziz sekitar 25 tahun lalu, saat ia masih menjadi mahasiswa Fakultas Psikologi UI. Saat menyusun skripsi, Qodari mengaku kesulitan mencari bahan referensi sampai ke Malang dan Yogyakarta, namun tidak menemukan referensi yang dibutuhkan.
"Ternyata referensi penting itu ketemunya di Departemen Agama dan penelitinya bernama Abdul Azis. Beliau peneliti dan pengajar sosiologi," kata Qodari.
Qodari melanjutkan, sosok Abdul Aziz semakin dikenal setelah menjadi anggota KPU. Bahkan pada awalnya tidak banyak yang tahu bahwa Abdul Aziz adalah aktivis GP Ansor NU. Abdul Azis menjabat sebagai Sekjen GP Ansor di masa kepemimpinan almarhum Slamet Efendi Yusuf.
"Begitu saya tahu beliau Sekjen GP Ansor, radar saya langsung berbunyi. Aktivis GP Ansor itu ketuanya minimal jadi menteri, dan kalau Sekjen GP Ansor minimal Duta Besar Arab Saudi," ungkap Qodari sambil berkelakar, karena Abdul Azis saat ini dicalonkan menjadi Duta Besar Indonesia untuk Arab Saudi.
Saksikan live streaming program-program BeritaSatu TV di sini
Sumber: BeritaSatu.com