Keuangan Syariah Solusi Atasi Ketimpangan Pendapatan Masyarakat

Jakarta – Pertumbuhan ekonomi Indonesia terus menunjukkan pertumbuhan, begitu juga dengan nilai tukar rupiah yang terjaga stabil dan cadangan devisa yang meningkat ke angka US$ 123,09 miliar pada Juni 2017. Namun, di balik pertumbuhan ekonomi tersebut, hasil pembangunan ekonomi belum terdistribusi secara optimal. Hal ini tercermin dari masih tingginya kesenjangan pendapatan antar lapisan masyarakat.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus D.W Martowardojo menjelaskan, studi Bank Dunia pada 2016 menunjukkan Indonesia harus secara seksama memperhatikan masalah kesenjangan. Indeks gini atau indeks kesenjangan pengeluaran penduduk Indonesia masih tercatat sebesar 0,39 pada akhir 2016. “Kondisi ini menjadi salah satu permasalahan utama yang harus diatasi guna mewujudkan perekonomian yang berkualitas dan berkesinambungan,” kata dia di Jakarta, belum lama ini.
Untuk mengatasi masalah kesenjangan, menurut Agus, diperlukan sebuah sistem ekonomi yang inklusif. Sistem keuangan syariah dipandang sebagai sistem yang tepat. Pasalnya, sistem tersebut berlandaskan nilai-nilai keadilan, kebersamaan dan keseimbangan dalam menggerakkan roda perekonomian.
Namun, pengembangan ekonomi syariah yang bisa mendukung perekonomian nasional harus disertai oleh kebijakan dan perangkat instrumen yang tepat. Akibatnya, pengembangan ekonomi syariah bisa mendukung distribusi sumber daya, mengoptimalkan investasi dan mendorong partisipasi sosial untuk kepentingan publik.
Kinerja Ekonomi Syariah
Dalam tataran ekonomi global, kinerja ekonomi dan keuangan syariah dunia memperlihatkan pertumbuhan yang pesat. Pada 2015, volume industri halal global mencapai US$ 3,84 triliun dan diperkirakan mencapai US$ 6,38 triliun pada 2021.
Sementara itu di Indonesia, meskipun pertumbuhan keuangan syariah tercatat tinggi, posisi Indonesia dalam Global Islamic Economic Indicator 2017 masih berada pada urutan ke-10. Sedangkan urutan teratas oleh Uni Emirat Arab dan Malaysia.
Menurut Agus, sejauh ini, Indonesia baru mampu menjadi pemain pada sektor industri keuangan syariah. Sedangkan pada sektor industri syariah lainnya, Indonesia hanya menjadi pasar besar, seperti industri makanan halal, industri wisata halal, industri fashion syariah serta industri kosmetik dan obat halal.
“Besarnya pasar industri halal ini memperlihatkan besarnya potensi ekonomi syariah domestik. Pada 2015, volume pasar makanan halal di Indonesia mencapai US$ 160 miliar dan merupakan peringkat pertama di pasar global,” terang dia.
Tingginya potensi pasar halal di Indonesia menunjukkan betapa kuatnya potensi Indonesia di tingkat global. Namun, apabila potensi tidak bisa dipenuhi secara domestik, akan menimbulkan ancaman tersendiri. Agus mengungkapkan, impor Indonesia bisa berpotensi meningkat untuk memenuhi pasar halal, sehingga bisa menekan posisi neraca pembayaran Indonesia. “Pada akhirnya bisa mengancam kemandirian dan ketahanan perekonomian nasional,” ucap dia.
Selain potensi industri halal, Indonesia memiliki banyak potensi seperti zakat, infak, sedekah dan wakaf (ZISWAF). Menurut Agus, apabila potensi ZISWAF ini bisa dimobilisasi dengan optimal, bisa menjadi mesin penggerak bagi pembangunan bangsa. Selain itu, pengelolaan ZISWAF secara tepat bisa mewujudkan distribusi pendapatan dan kesempatan serta pemberdayaan masyarakat secara inklusif. “ZISWAF juga bisa mendukung berbagai program investasi nasional seperti pembangunan infrastruktur, rumah sakit dan lainnnya,” kata dia.
Ditambah pula, Indonesia juga memiliki begitu banyak pesantren dan lembaga pendidikan Islam yang bisa menciptakan para pelaku, pendidik dan penggiat ekonomi syariah yang andal. Lembaga-lembaga pendidikan Islam ini tidak hanya memiliki potensi sumber daya insani yang besar, namun juga memiliki kemampuan mendistribusi perekonomian hingga ke unit terkecil.
Dalam rangka mewujudkan potensi ekonomi syariah, BI akan melakukan sinergi dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Bentuk sinergi tersebut adalah melalui perumusan tiga pilar pengembangan ekonomi dan keuangan syariah, yaitu pilar pemberdayaan ekonomi syariah, pilar pendalaman keuangan syariah serta pilar penguatan riset, asesmen, edukasi, sosialisasi dan komunikasi.
Sementara itu, Sekretaris Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas menjelaskan, untuk mengembangkan ekonomi syariah diperlukan enam langkah. Adapun langkah-langkah tersebut adalah mencanangkan ekonomi syariah sebagai program nasional, adanya political will yang kuat dari pemerintah, pembentukan badan atau komite khusus, fokus dalam pemanfaatan dan pengembangan, serta adanya program yang menyeluruh meliputi reformasi struktural pemerintah, ekonomi dan keuangan maupun paradigma masyarakat.
Selain itu, dalam menjalankan program ekonomi syariah harus sesuai dengan nilai dan prinsip dasar. Anwar menyebutkan, prinsip dasar tersebut adalah kebebasan dalam memilih tujuan dan rekan dagang, transaksi harus transparan dan tidak membahayakan keselamatan serta barang yang diperdagangkan tidak boleh mengandung zat haram. “Transaksi juga harus dilakukan secara adil dan sesuai pada tempatnya," ungkap dia.
Sumber: Investor Daily
BERITA TERKAIT
BERITA TERKINI
Kaesang Gabung PSI, Gibran Ungkap Ada yang Coba Adu Domba dengan Alam Ganjar
Cak Imin Jadi Cawapres Anies, Massa 212 Diprediksi Dukung Prabowo
3 Santri Ponpes Imam Asy-Syafii Tewas Tenggelam di Pantai Lowita Pinrang
Tewaskan 4 Orang, Begini Kronologis Lengkap Kecelakaan Maut di Exit Tol Bawen
1
Polri Terbitkan 4 SKCK Bakal Capres dan Cawapres
B-FILES


Perlukah Presiden/Kepala Negara Dihormati?
Guntur Soekarno
Urgensi Mitigasi Risiko Penyelenggara Pemilu 2024
Zaenal Abidin
Identitas Indonesia
Yanto Bashri