Polusi Udara Bikin Sesak!

Jakarta, Beritasatu.com - Beberapa pekan terakhir, polusi udara menjadi salah satu isu yang paling banyak diperbincangkan masyarakat Indonesia. Beberapa kota di Indonesia menyandang predikat kota dengan kualitas udara terburuk di dunia. Polusi udara menjadi benang kusut yang tak kunjung terselesaikan hingga saat ini.
Masyarakat perkotaan pun mulai mengeluhkan kualitas udara yang dihirupnya. Oky Arman, warga Kebon Nanas, Jakarta Timur, setiap hari terpaksa menghirup udara tak sehat lantaran harus berhadapan dengan kemacetan Jakarta.
“Ini sebetulnya masalah yang sudah lama ya. Sebelum pandemi Covid-19, kualitas udara di Jakarta sudah buruk. Saat Covid-19, dengan adanya pembatasan aktivitas, kualitas udara sedikit membaik. Sekarang sudah normal, tidak ada pandemi, justru polusi makin gawat dan lebih berbahaya,” kata Oky saat ditemui Beritasatu.com, baru-baru ini.
Hal senada dirasakan warga Jakarta lainnya, Nadifah. Ia menyadari akhir-akhir ini langit di Jakarta menjadi abu-abu akibat polusi kendaraan bermotor. Mau tidak mau, dirinya juga harus berhadapan dengan ancaman kesehatan akibat polusi udara itu.
"Sekarang macetnya makin parah. Apalagi saya setiap hari mengendarai motor, terasa sekali. Napas juga jadi lebih tidak enak karena polusi,” ungkapnya.
Begitu pula yang dirasakan oleh Winaryanto, warga Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Ia merasakan napasnya sesak lantaran udara kotor yang dihirup akibat polusi. Ia pun berharap pemerintah bisa menyediakan solusi untuk melindungi warganya.
“Prihatin ya, karena polusi ini lebih berbahaya dari pandemi kemarin. Sekarang olahraga juga udaranya enggak bagus. Semoga ada solusi konkret dari pemerintah. Misalnya, menyediakan transportasi umum yang ramah lingkungan,” katanya.
Dampak Polusi Udara
Buruknya kualitas udara mengakibatkan tingkat kunjungan masyarakat ke rumah sakit juga meningkat. Hal ini diungkapkan dokter spesialis paru dan pernapasan, dokter Feni Fitriani. Seiring meningkatnya kadar polusi, keluhan batuk dan pilek, bahkan kunjungan ke ruang gawat darurat pun bertambah.
"Keluhan batuk dan pilek menjadi lebih banyak dan berkepanjangan. Jika biasanya tiga hari sembuh sendiri, kini seminggu atau dua minggu, bahkan lebih, bisa belum sembuh. Angka kunjungan ke emergency juga lebih banyak," terangnya.
Feni menuturkan jika sebelumnya pasien dengan penyakit asma terbilang sepi, kini pasien dengan penyakit tersebut terus berdatangan dan memerlukan penanganan melalui terapi uap. Ia menjelaskan, unsur gas dalam polusi udara dapat menyebabkan sesak napas dan iritasi. Selain itu, terdapat partikel-partikel kecil yang bisa masuk ke tubuh dan aliran darah.

Polusi udara yang tinggi memunculkan gangguan pernapasan kronis. Kejadian infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) akan meningkat, lalu infeksi paru, hidung, dan telinga juga akan meningkat, khususnya bagi kelompok rentan. Kelompok rentan, bukan hanya orang-orang tua, juga ibu hamil dan anak-anak.
"Udara yang tidak bagus membuat oksigen berkurang. Jika terjadi terus-menerus akan berpengaruh terhadap ibu hamil dan janinnya. Anak-anak pun mudah terserang infeksi ISPA, batuk, pilek, demam, bahkan bisa terjadi radang paru hingga pneumonia," katanya.
Data yang ada menunjukkan sekitar 600.000 anak meninggal setiap tahun akibat penyakit yang terkait dengan polusi udara. Selain mengganggu sistem pernapasan, polusi udara juga memengaruhi kesehatan mental, mengganggu koordinasi gerakan halus dan kasar, serta mengganggu perilaku anak. Dampak jangka panjang dari paparan berbagai polutan udara adalah gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak.
Presiden Jokowi Ikut Batuk
Kualitas udara yang buruk akibat polusi turut dirasakan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno mengungkapkan Jokowi mengalami batuk-batuk selama empat minggu akibat buruknya kualitas udara.
"Beliau belum pernah merasakan seperti ini. Dokter menyampaikan, ada kontribusi dari udara yang tidak sehat dan kualitasnya buruk," kata Sandiaga seusai mengikuti rapat terbatas (ratas) soal polusi udara di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (14/8/2023).
Memburuknya kualitas udara memang tidak bisa dianggap enteng. Sebagai salah satu kebutuhan utama manusia, masyarakat berhak menghirup udara segar. Polusi udara saat ini telah mengancam kesehatan nasional, bahkan menelan korban jiwa.
Ketua Bidang Penanggulangan Penyakit Menular PB IDI, dokter Agus Dwi Susanto mengemukakan setiap tahun sekitar 7 juta orang di Indonesia meninggal secara prematur atau pada usia dini akibat paparan polusi udara. Angka ini lebih tinggi ketimbang jumlah kematian akibat Covid-19 yang mencapai 161.916 orang hingga 20 Agustus 2023.
Menurut data Institute of Health Metrics and Evaluation (IHME) menyangkut Global Burden of Disease (2019), polusi udara menjadi penyebab kematian terbanyak kelima di Indonesia.
“Di Indonesia, faktor risiko kematian terbesar adalah tekanan darah tinggi, diikuti gula darah, merokok, obesitas, dan polusi udara di luar maupun di dalam ruangan,” kata Agus dalam dialog secara virtual, beberapa waktu lalu.
Menurut informasi dari platform IQAir, indeks polusi udara di Jakarta sempat mencapai kategori terburuk, yakni 193 pada Senin (7/8/2023). Angka konsentrasi partikulat PM 2,5 dalam udara di Jakarta mencapai 27 kali di atas standar aman yang ditetapkan Badan Kesehatan Dunia (WHO).
BERITA TERKAIT
BERITA TERKINI
SYL Hilang Kontak di Spanyol, KPK: Penyidikan Perkara Pasti Kami Selesaikan
Brisia Jodie Ikut Geram Tanggapi Kontroversi Film Dokumenter Ice Cold: Murders, Coffee and Jessica Wongso
Prediksi MU vs Galatasaray: Diperkuat Mason Mount, Setan Merah Percaya Diri
4
B-FILES


ASEAN di Tengah Pemburuan Semikonduktor Global
Lili Yan Ing
Perlukah Presiden/Kepala Negara Dihormati?
Guntur Soekarno
Urgensi Mitigasi Risiko Penyelenggara Pemilu 2024
Zaenal Abidin