Jenewa - Lebih dari 100.000 pengungsi Rohingya yang berada di kamp-kamp kumuh dan berlumpur di Bangladesh berada dalam situasi bahaya karena ancaman tanah longsor sebagai dampak dari musim hujan yang lebat. Saat ini terdapat lebih dari 900.000 pengungsi Rohingya di wilayah Cox's Bazar setelah 688 orang melarikan diri dari kekerasan di Myanmar pada akhir Agustus 2017.
Para pekerja bantuan menyatakan kamp-kamp yang menampung para pendatang baru sama sekali tidak memadai. “Pemetaan bahaya tanah longsor dan banjir mengungkapkan setidaknya 100.000 orang berada dalam bahaya dari risiko tersebut dan membutuhkan relokasi ke wilayah baru atau di lingkungan tempat tinggal mereka,” sebut laporan dari Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB).
“Kurangnya ruang tetap menjadi tantangan utama karena lokasi sangat padat membuat kehidupan sangat sulit tanpa ruang untuk penyediaan layanan dan fasilitas. Selain itu, kepadatan meningkatkan risiko perlindungan dan wabah penyakit seperti difteri yang meningkat di sebagian besar lokasi,” tambah pernyataan PBB.
Meskipun, program vaksinasi secara cepat tampaknya menghambat risiko kolera, sebanyak 4.865 orang telah terkonfirmasi kolera atau dugaan difteri, dan 35 orang telah meninggal.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah melakukan vaksinasi difteri kepada lebih dari 500.000 warga Rohingya, selanjutnya pada Sabtu (27/1), para pekerja kesehatan kembali memberikan 350.000 anak Rohingya vaksinasi tahap kedua. WHO juga memiliki 2.500 dosis yang pasokannya sedikit secara global, untuk mencegah efek mematikan dari penyakit itu.
Namun, situasi kesehatan lain yang muncul adalah penyakit gondok. Laporan PBB menyatakan terjadi peningkatan kasus tersebut dalam beberapa minggu terakhir, dan para pengungsi Rohingya serta masyarakat setempat belum pernah diberikan vaksin untuk melawan penyakit sangat menular itu yang bisa berakibat fatal, mesikpun jarang, menyebabkan meningitis.
Sebagian besar pengungsi Rohingya, hampir 585.000 orang, saat ini berada di daerah sangat padat yaitu Kutupalong-Balukhali. “Presentasi tinggi dari tanah tidak sesuai sebagai tempat permukiman manusia karena resiko banjir dan longsor sangat tinggi dan diperparah dengan kepadatan dan teras pegunungan yang luas,” sebut pernyataan PBB.
Berdasarkan penilaian teknik terbaru menyebutkan seluruh jalan di kamp tersebut akan tidak bisa diakses oleh truk, dan Program Bantuan Pangan (WFP) mempertimbangkan untuk menggunakan jasa porter untuk mendistribusikan makanan.
Sumber: Suara Pembaruan