Hong Kong, Beritasatu.com - Perkelahian terjadi di dalam gedung parlemen Hong Kong, Sabtu (11/5/2019), terkait debat tentang undang-undang yang membuat tersangka pidana bisa dikirim ke Tiongkok Daratan untuk diadili.
Sejumlah orang cedera dalam perkelahian itu, salah satunya harus meninggalkan ruangan dengan kereta dorong karena pingsan.
Para pengkritik mengatakan UU ekstradisi tersebut akan menggerus kebebasan di Hong Kong. Namun, pihak berwenang mengatakan mereka harus mengubah UU sehingga bisa mengekstradisi seorang tersangka pembunuhan ke Taiwan.
Anggota pralemen pro-demokrasi James To awalnya ditunjuk untuk memimpin sesi sidang tentang RUU yang kontroversial tersebut, tetapi beberapa hari lalu para pendukung UU ekstradisi melengserkan dia dari kursi pimpinan sidang.
Hari Sabtu, ketegangan mencapai puncaknya. Para politisi saling memaki dan melompati meja untuk merebut mikrofon, disaksikan para jurnalis. Tokoh pro-demokrasi Gary Fan pingsan dan harus dibawa dengan kereta dorong, sementara seorang tokoh pro-Beijing harus dibebat tangannya.
Kenapa UU ekstradisi ini harus diubah?
Di bawah kebijakan "Satu Negara, Dua Sistem", Hong Kong memiliki sistem hukum yang terpisah dari Tiongkok Daratan. Beijing menerima kendali atas Hong Kong dari koloni Inggris pada 1997, dengan syarat bersedia menerapkan otonomi khusus bagi Hong Kong kecuali urusan pertahanan dan luar negeri.
Tokoh pemimpin pro-Beijing Carrie Lam mengusulkan ada perubahan UU sehingga para tersangka pidana bisa diekstradisi ke Taiwan, Makau, atau Tiongkok Daratan dengan dilihat kasus per kasusnya.
Lam mencontohkan kasus seorang pria Hong Kong berusaha 19 tahun yang diduga membunuh pacarnya yang sedang hamil saat mereka berlibur di Taiwan, dan kemudian kabur pulang ke Hong Kong.
Taiwan minta dia diekstradisi, tetapi pihak berwajib Hong Kong tidak bisa memenuhinya karena tidak ada perjanjian ekstradisi dengan Taiwan.
Usulan perubahan ini memicu protes masif di Hong Kong. Bulan lalu terjadi aksi demonstrasi yang terbesar sejak "Gerakan Payung" pro-demokrasi 2014.
Bahkan kalangan bisnis juga keberatan. Kamar Dagang Internasional Hong Kong mengatakan RUU tersebut bisa "membuat orang kehilangan kebebasan, properti, dan bahkan hidup mereka."
Sumber: BBC