New York, Beritasatu.com- Amerika Serikat (AS) memveto resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa (DK PBB) yang diusulkan oleh Indonesia terkait kontraterorisme, termasuk nasib bekas anggota Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Resolusi itu telah disepakati oleh 14 anggota DK lainnya, tapi tidak bisa disahkan karena veto AS tersebut.
“Indonesia menyesalkan bahwa DK gagal mengadopsi draf resolusi atas persekusi, rehabilitasi, dan reintegrasi (PRR) teroris, karena suara tidak setuju dari satu anggota permanen DK,” kata Wakil Tetap RI untuk Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) di New York, AS, Duta Besar Dian Triansyah Djani, dalam pernyataan resmi Indonesia selaku presiden DK PBB periode Agustus, Senin (31/8).
Terkait hal itu, Duta Besar AS untuk PBB, Kelly Craft, mengatakan draf teks yang bertujuan memperkuat tindakan internasional atas kontraterorisme "lebih buruk dibandingkan tidak ada resolusi sama sekali".
“(Draf) itu bahkan gagal memasukkan rujukan kepada langkah pertama yang penting, repatriasi ke negara-negara asal atau kewarganegaraannya. AS tidak akan berpartisipasi dalam lelucon sinis dan sengaja dilupakan,” kata Craft.
Veto AS disampaikan setelah Indonesia, selaku presiden DK bulan Agustus, minggu lalu menolak upaya Washington untuk menerapkan kembali sanksi PBB kepada Iran karena 13 anggota lainnya menyatakan penolakan atas langkah itu.
Hentikan Repatriasi
Naskah resolusi menghentikan seruan agar bekas anggota milisi asing dipulangkan (repatriasi) ke negara asalnya, seperti didukung AS tapi ditentang oleh negara-negara Eropa.
Sebaliknya, teks resolusi mendorong negara-negara anggota PBB untuk bekerja memasukkan kembali para bekas anggota kelompok teroris, termasuk ribuan di antaranya ditahan di Suriah dan Irak, ke dalam masyarakat setempat, setelah mereka menjalani masa hukuman, dan menyediakan dukungan bagi keluarga mereka.
AS mendesak agar naskah resolusi memuat kata “repatriasi”, dan telah didukung Rusia. AS sejak lama membela ide pemulangan militan asing yang ditahan di Suriah dan Irak ke negara asal mereka. Namun, negara-negara Eropa dan Arab menentang kebijakan itu dan lebih menyetujui mereka diadili dan menjalani hukuman di mana kejahatan terjadi.
Penolakan Eropa untuk pemulangan milisi asing ISIS karena menyadari kesulitan pengumpulan bukti dan penolakan dari publik sendiri, serta risiko serangan di tanah Eropa.
Ribuan milisi asing dari puluhan negara, termasuk Indonesia, ditahan oleh Pasukan Demokratik Suriah (SDF) yang didukung oleh AS di timur laut Suriah. Pasukan yang dipimpin Kurdi juga menahan puluhan ribu perempuan dan anak-anak yang diduga anggota keluarga militan asing.
Strategi Komprehensif
Watap RI di PBB, Dubes Djani, mengatakan resolusi PRR jika diadopsi akan menjadi alat kunci untuk Dewan dan seluruh anggota PBB, serta sistem PBB, untuk memiliki strategi komprehensif dan jangka panjang dalam melawan terorisme dan ekstremisme kekerasan yang kondusif bagi terorisme, serta mencegah terulangnya lagi aksi teroris.
“Oleh karena itu, kegagalan Dewan untuk mengadopsi resolusi penting tidak hanya melumpuhkan upaya kolektif kita untuk menghadapi ancaman terorisme, tapi paling penting juga mengirimkan sinyal merusak bahwa Dewan, pertama kalinya, tidak bersatu dalam perang melawan momok terorisme,” kata Dubes Djani.
Resolusi PRR usulan Indonesia mendorong negara-negara memfasilitasi pemulangan anak-anak ke negara asal mereka, sebagaimana mestinya dan berdasarkan kasus per kasus. Kegagalan untuk pengesahannya juga disesalkan oleh Inggris.
“Kami menyesalkan resolusi itu tidak diadopsi. Kami bekerja sama erat dengan mitra internasional untuk mengurangi risiko yang ditimbulkan kepada kita secara kolektif dari para milisi asing,” sebut pernyataan kantor juru bicara Kementerian Luar Negeri Inggris, Senin.