Canberra, Beritasatu.com - Pandemi Covid-19 telah berdampak buruk kepada kesehatan mental dari 75% pemuda Australia berusia 18-24 tahun, berdasarkan survei yang dipublikasikan oleh Ipsos dan surat kabar Nine Entertainment, Jumat (29/10/2020).
Sebagai perbandingan, 65% dari mereka yang disurvei berusia 25-39 tahun, mengatakan pandemi dan pembatasan telah berdampak kepada kesejahteraan mental mereka, hanya 49% dari mereka yang berusia 40-54 tahun, dan 35% dari mereka berusia 55 tahun ke atas.
Profesor psikiatri di Universitas Sydney, Ian Hickie, mengatakan kehidupan pendidikan dan sosial dari anak-anak muda di seluruh dunia telah terganggu oleh pandemi. Universitas Sydney telah mempublikasi model yang memproyeksikan kenaikan 30% dalam tingkat bunuh diri untuk warga Australia berusia 18-24 tahun selama lima tahun ke depan.
Di Victoria, negara bagian yang terpukul parah karena pandemi, diproyeksikan peningkatan bunuh diri sebesar 36,7%.
“Empat puluh lima persen pekerjaan yang hilang terjadi di kalangan pemuda, banyak industri yang tidak segera kembali seperti pariwisata, perhotelan, dan seni pertunjukan,” kata Hickie.
“Dampak pada kehidupan anak muda akan berlangsung 5-10 tahun. Ini tidak akan berakhir ketika lockdown selesai atau ketika kita tampaknya memiliki ancaman kesehatan fisik karena beberapa kendali,” lanjut Hickie.
Di Northern Territory (NT), jumlah pasien yang datang ke Rumah Sakit (RS) Royal Darwin karena isu kesehatan mental telah meningkat 30% sejak wabah Covid-19. Peningkatan itu terjadi meskipun NT sejauh ini hanya memiliki kurang dari 40 kasus terkonfirmasi Covid-19, sebagai wilayah dengan angka kasus terendah di Australia.
Pengamat mengakui pendekatan lockdown ketat di Australia telah berhasil menurunkan kasus infeksi Covid-19. Pada Senin (26/10/2020) dan Selasa (27/10/2020), Australia berhasil mencatat nol kasus Covid-19 di negara bagian Victoria, sebagai pusat wabah terbaru. Victoria menerapkan lockdown secara agresif pada Juli saat kasus mulai meningkat.
Selama 111 hari, penduduk Melbourne, sebagai ibu kota Victoria, hanya diizinkan meninggalkan rumah untuk tujuan esensial seperti berolah raga atau belanja kebutuhan sehari-hari. Kota itu juga menerapkan denda kepada orang-orang yang menerapkan pertemuan besar, bepergian kerja tanpa izin, dan tidak memakai masker di area publik.
“Ini adalah kesuksesan yang cemerlang. Ada kerugian besar kepada kesehatan mental orang-orang dan banyak orang kehilangan pekerjaan, tapi ini berhasil,” kata epidemiolog di Universitas Australia Selatan kepada Business Insider, Kamis.
Australia memiliki keunggulan untuk penanganan Covid-19 dibandingkan sebagian besar negara lainnya, di antaranya populasi kepadatan penduduk yang relatif rendah dan berhasil menerapkan aturan yang jauh lebih ketat dibandingkan negara lain.
Selama beberapa bulan, penduduk Melbourne hanya bisa melakukan perjalanan dalam jarak lima kilometer dari rumah mereka. Pada Oktober, pemerintah negara bagian Victoria memperluasnya menjadi radius 25 kilometer.
Per Agustus, para pekerja esensial bisa didenda sampai 1.652 dolar Australia (Rp 17 juta) jika tidak membawa izin untuk pergi dari dan menuju tempat kerja mereka. Australia juga menerapkan denda jika tidak memakai masker di area publik.
Pada 22 Juli, penduduk Melbourne, yang berusia 12 tahun ke atas diwajibkan memakai masker di luar rumah atau berisiko denda 200 dolar Australia (Rp 2 juta). Bisnis yang mendorong karyawan agar tidak memakai masker bisa didenda 9.913 dolar Australia (Rp 102 juta).
Selain itu, Melbourne juga membatasi perkumpulan publik hanya untuk dua orang atau satu rumah tangga mulai Juli. Kemudian, pada Agustus, kota itu menerapkan jam malam yang melarang penduduk untuk keluar antara pukul 21.00-05.00.
Pada akhir September, Melbourne mulai mengizinkan pertemuan publik terdiri dari lima orang dari dua rumah tangga, tapi lebih dari itu atau para pelanggar bisa didenda 4.957 dolar Australia (Rp 51 juta).
Sumber: Xinhua, Business Insider