Jakarta, Beritasatu.com - Pengamat kebijakan publik Universitas Trisakti (Usakti) Trubus Rahadiansyah menilai kebijakan pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) nomor 18 tahun 2022 tentang upah minimum cenderung dipaksakan.
“Penekanannya adalah karena alasan daya beli masyarakat dan pada tatarannya perluasan lapangan pekerjaan. Argumen itu 'cenderung mengada-ada', karena sebetulnya di PP 36/2021 itu sudah ada yang dimaksud itu, cuma definisinya diperjelas,” kata Trubus kepada B-Universe, Sabtu (19/11/22).
Sebelumnya Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah mengumumkan penerbitan Permenaker 18 tahun 2022 yang berisi tentang penyempurnaan formula perhitungan dan perubahan waktu penetapan upah minimum tahun 2023 sebagaimana sebelumnya tertuang dalam PP 36 tahun 2021. Peraturan tersebut merupakan produk dari UU Cipta Kerja yang sebelumnya ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai UU inkonstitusional bersyarat sejak November tahun lalu.
Menurut Trubus, meski masuk ke dalam UU Cipta Kerja yang bermasalah di MK, PP 36 tetap sah dipergunakan. Karena ketetapan MK tidak menyinggung soal materil atau isi undang-undang, melainkan hanya berkaitan dengan uji formil atau penyusunan.
“Karena putusan MK setengah hati menyebabkan pemerintah akhirnya bersikap pada tataran untuk tetap melaksanakan UU Ciptaker itu. Kalau misalnya putusannya konkret, yah tidak bisa dipakai,” ujarnya.
Baca selanjutnya
Pemerintah memutuskan akan melakukan penyesuaian upah minimum tahun 2023 dengan pertimbangan ...
Halaman: 12selengkapnya
Saksikan live streaming program-program BTV di sini
Sumber: BeritaSatu.com