Jakarta, Beritasatu.com- Kementerian Koperasi dan UKM (Kemenkop UKM) menyatakan ada 10 ide pokok sebagai penyempurna Undang-Undang (UU) Perkoperasian. Usia Undang Undang (UU) Nomor 25/1992 tentang Perkoperasian sudah lebih 30 tahun, sedangkan dinamika perekonomian bergerak demikian cepat.
"Ada beberapa identifikasi awal yang kami dapatkan sebagai dasar dan alasan UU Perkoperasian perlu disempurnakan," ucap Sekretaris Kementerian Koperasi dan UKM Arif Rahman Hakim Sabtu (19/11).
Pertama, UU 25/1992 belum mengatur koperasi sebagai sebuah badan hukum, termasuk belum diatur pembuatan akta pendirian dan perubahan anggaran dasar koperasi oleh notaris. Kedua, mempertegas peran dan fungsi rapat anggota, pengurus, dan pengawas, sebagai perangkat organisasi koperasi. Ketiga, terkait tata kelola koperasi yang menerapkan prinsip akuntabilitas dan transparansi, dan tata kelola investasi. "Ini juga perlu diatur dan dipertegas kembali," imbuh Arif.
Keempat, UU tersebut belum tegas dalam memberlakukan ekuitas atau modal sendiri. Kelima, kewenangan dan pemeriksaan, serta penjatuhan sanksi dari pemerintah, masih perlu diperbaiki. Keenam, perlu diperkuat perlindungan anggota dalam bentuk penjaminan simpanan, baik melalui APEX atau Lembaga Penjamin Simpanan, serta skema gagal bayar.
Ketujuh, menyangkut pengelolaan koperasi berdasarkan prinsip syariah yang belum diakomodasi pengaturannya dalam UU tersebut. Arif mengatakan, dalam UU Perkoperasian yang baru juga perlu diperkuat pemberian sanksi terkait pelanggaran implementasi UU oleh pengurus dan pengelola koperasi. Fungsi anggota sebagai pemilik juga masih perlu diperbaiki dan diperkuat. Bahkan, penanganan koperasi bermasalah yang perlu diatur rujukannya secara tegas dan tidak berlarut-larut.
"Setidaknya, sampai saat ini, ada 10 isu yang akan dibahas untuk memperkuat UU Perkoperasian. Saya berharap terus mendapat masukan dari para stakeholder agar semakin sempurna draf RUU yang sedang kami bahas ini," kata Arif.
Anggota Komisi VI DPR RI Muhammad Rapsel Ali mengatakan pihaknya mendukung hadirnya UU Perkoperasian yang baru karena UU lama dinilai sudah tidak mampu lagi menjadi solusi bagi beragam persoalan faktual yang sedang terjadi di Indonesia. "Sehingga, diperlukan UU Perkoperasian yang baru untuk mengakomodir dan menjadi solusi jangka panjang bagi perkembangan koperasi," kata Rapsel.
Anggota Tim Pokja RUU Perkoperasian Agung Nur Fajar menjelaskan, dalam UU lama ketentuan tentang membangun koperasi berarti membangun koperasinya. Sekarang, perlu terlebih dahulu membangun ekosistemnya. Kalau tidak, kata Agung, koperasi akan kesulitan tumbuh atau tumbuhnya tidak bisa berkelanjutan. "Contohnya, kalau untuk lembaga sektor keuangan harus ada lembaga penjamin simpanan anggota, hingga harus ada lembaga pengawas yang independen," tandas Agung.
Menurut Agung, menyangkut pengawasan juga dalam rangka membangun ekosistem perkoperasian. Terkait pengawasan koperasi kini muncul pro dan kontra, terutama setelah ada RUU PPSK (Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan). Pro kontra terkait pengawasan pindah ke OJK atau tidak, dan sebagainya. "Kenapa hal itu diatur dalam UU PPSK? Dalam pandangan beberapa orang, dianggap ada kekosongan hukum," ujar Agung.
Agung menjabarkan, dalam UU 12/1967 disebutkan bahwa pemerintah mempunyai kewenangan melakukan pengawasan, sedangkan di UU 25/1992 tidak ada satu kata pun menyebut pengawasan. "Karena, saat itu (UU 25/1992), cara pandangnya adalah ingin membangun koperasi," kata Agung.
Saksikan live streaming program-program BTV di sini
Sumber: Investor Daily