Jakarta, Beritasatu.com - Kepala Center of Food, Energy and Sustainable Development Indef Abra Talattov menyampaikan, transisi energi perlu didukung sebagai wujud komitmen terhadap mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Namun, ambisi dalam mendorong transisi energi sudah seharusnya dilaksanakan secara rasional, bertahap, dan terukur dalam rangka menjaga ketahanan dan kedaulatan energi nasional.
Menurutnya, transisi energi di Indonesia saat ini menghadapi tantangan besar berupa mismatch antara pasokan dengan permintaan listrik, sehingga menimbulkan kondisi oversupply yang besar.
"Karena itu, kebijakan transisi energi semestinya jangan hanya berfokus pada sisi supply, tetapi juga harus memperhitungkan sisi demand yang saat ini realisasinya masih jauh lebih rendah dari asumsi pemerintah,” kata Abra dalam diskusi publik yang digelar Indef bertajuk “Masa Depan Sektor Ketenagalistrikan di Pusaran RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan”, di Jakarta, Rabu (23/11/2022).
Abra juga menyoroti skema power wheeling yang masuk dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET). Menurutnya, skema tersebut tidak memiliki urgensi sama sekali. Apalagi power wheeling sudah ada dalam Permen ESDM Nomor 1 Tahun 2015.
Sebagai informasi, power wheeling atau pemanfaatan bersama jaringan tenaga listrik, merupakan sebuah mekanisme yang dapat memudahkan transfer energi listrik dari sumber energi terbarukan atau pembangkit non-PLN ke fasilitas operasi perusahaan dengan memanfaatkan jaringan transmisi yang dimiliki dan dioperasikan oleh PT PLN (Persero).
"Usulan skema power wheeling memang sebagai pemanis dalam menstimulasi investasi pembangkit EBT. Namun kami melihat saat ini kondisinya tidak urgent dengan melihat kondisi eksisting di PLN saat ini,” kata Abra.
Tanpa adanya “gula-gula” pemanfaatan bersama jaringan tenaga listrik, Abra mengatakan pemerintah sebetulnya sudah menggelar "karpet merah" bagi swasta untuk memperluas bauran EBT sebagaimana yang dijaminkan dalam rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL) 2021-2030.
“Dalam RUPTL paling green itu, target tambahan pembangkit EBT mencapai 20,9 gigawatt (GW) dengan porsi swasta mencapai 56,3% atau setara dengan 11,8 GW. Artinya, dengan menjalankan RUPTL 2021-2030 secara konsisten saja, secara alamian bauran pembangkit EBT hingga akhir 2030 akan mencapai 51,6%,” paparnya.
Abra menambahkan, ide penerapan skema power wheeling juga menjadi tidak relevan mengingat saat ini beban negara yang semakin berat menahan kompensasi listrik akibat kondisi oversupply listrik yang terus melonjak.
Ia melihat saat ini kondisi sektor ketenagalistrikan sangat miris karena terjadi disparitas yang lebar antara supply dan demand listrik, di mana diproyeksikan over supply listrik tahun 2022 ini saja akan menyentuh 6-7 GW.
Situasi oversupply listrik tersebut berpotensi makin membengkak, karena masih adanya penambahan pembangkit baru hingga 16,3 GW pada 2026 sebagai implikasi dari mega proyek 35 GW.
Di sisi lain, kondisi besarnya oversupply tersebut juga tidak lepas dari melesetnya asumsi pertumbuhan demand listrik, di mana pada RUPTL 2019-2028 ditargetkan pertumbuhan demand rata-rata 6,4% per tahun. Namun, realisasinya selama 2015-2021 rata-rata hanya 3,5% per tahun.
“Tidak hanya itu, imbas skema power wheeling juga akan meningkatkan risiko oversupply listrik akibat tergerusnya demand listrik PLN baik organik maupun non-organic demand,” kata Abra.
Saksikan live streaming program-program BTV di sini
Sumber: BeritaSatu.com