Jakarta, Beritasatu.com - Pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi tahun 2023 di angka 5,3%. Namun, pemerintah tetap mewaspadai gejolak perekonomian global yang terjadi. Khususnya dampak kenaikan suku bunga bank sentral Amerika Serikat atau The Federal Reserve (The Fed) ke perekonomian nasional.
Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Suahasil Nazara mengatakan gejolak perekonomian global bisa terjadi karena The Fed masih akan menaikan suku bunga acuan mereka di tahun 2023 nanti.
“Kami terus memerhatikan statement Dewan Gubernur Fed. Tentunya kita translate ke dalam negeri. Ketika kita menerjemahkan ini ke dalam negeri. Tentu kita melihat beberapa ruang-ruang yang harus kita waspadai,” ucap Suahasil dalam acara Wealth Wisdom di Hotel Ritz Carlton Jakarta, Selasa (29/11/2022).
Suahasil menuturkan, pemerintah tetap menggunakan APBN sebagai instrumen untuk meredam getaran atau shock absorber dari gejolak perekonomian yang terjadi. APBN 2023 dijalankan dengan semangat optimistis tetapi memperhatikan sejumlah faktor yang harus diwaspadai.
"APBN ini kita bangun dengan optimistis namun tetap waspada. Optimistis, kegiatan ekonomi jalan tetapi kita harus waspada. Waspada kepada variabel-variabel yang berubah sangat cepat di dunia internasional,” kata Suahasil.
Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan, pemerintah akan menjalankan kebijakan perekonomian tahun 2023 secara optimistis namun tetap mewaspadai sejumlah faktor. Salah satunya, kebijakan The Fed.
Momentum pemulihan ekonomi pada kuartal III dan IV 2022 masih terjaga tetapi pemerintah tetap mewaspadai kondisi perekonomian global yang kerap mengalami turbulensi.
“Kombinasi di satu sisi kita optimis karena pemulihan ekonomi Indonesia kinerja sampai kuartal III dan berbagai faktor yang mendukungnya seperti dari sisi investasi ekspor, konsumsi, masyarakat dan belanja pemerintah semua berimplikasi bahwa momentum itu masih berjalan,” kata Sri Mulyani.
Kewaspadaan terjadi karena dampak perang Rusia-Ukraina khususnya pada sektor energi dan pangan. Kenaikan pangan pada komoditas energi, harga pangan dan pupuk mendorong inflasi di negara-negara Eropa, Amerika Serikat (AS), Inggris, dan Jepang.
Tingginya laju inflasi menyebabkan bank sentral di sejumlah negara melakukan pengetatan kebijakan moneter yang melemahkan perekonomian. Beberapa negara memang masuk ke zona kontraksi dalam posisi positif tetapi masih sangat kecil seperti di AS.
"Di Tiongkok kita dengar karena kebijakannya covid masih sangat ketat ini mempengaruhi kondisi ekonomi global. Jadi kami selalu sampaikan waspada karena faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan momentum pemulihan ekonomi Indonesia bisa dipengaruhi oleh faktor global tersebut,” tutur Sri Mulyani.
Saksikan live streaming program-program BTV di sini
Sumber: Investor Daily