Digitalisasi Picu Serapan Lahan Kawasan Industri Menciut 17%

Minggu, 5 Februari 2023 | 09:27 WIB
Leonard AL Cahyoputra / WBP
Kendaraan melintas di depan pabrik di wawasan industri di Kota Deltamas di Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Rabu, 16 November 2022. Saat ini, Kota Deltamas telah memiliki 19 klaster residensial, 19 klaster komersial, dan kawasan industri Greenland International Industrial Center (GIIC) seluas kurang lebih 2200 hektare yang dikembangkan dengan konsep ramah lingkungan.

Jakarta, Beritasatu.com- Penyerapan lahan di kawasan industri (KI) sepanjang 2022 turun 17,19% menjadi 519,38 hektare (ha) dibanding tahun 2021 sebesar 627,22 ha. Pasalnya, tren industri saat ini mengarah ke digitalisasi sehingga membutuhkan lahan sedikit.

"Kebutuhan lahan industri saat ini berbeda, banyak industri melakukan transformasi digital, sehingga orientasinya pada pusat data," kata Ketua Umum Himpunan Kawasan Industri (HKI) Sanny Iskandar dalam konfrensi pers secara hibrid, Kamis belum lama ini.

Selain itu, banyak industri menggunakan mesin-mesin dengan berteknologi tinggi. “Itu memengaruhi penyerapan lahan. Dulu mungkin satu pabrik butuh 10 ha, sekarang cukup dengan 5 ha. Karena mereka tidak membutuhkan ruang terlalu besar,” kata dia.

Meski demikian, dia mengaku tetap optimistis penyerapan lahan akan lebih baik pada tahun 2023 seiring realisasi investasi yang terus bertambah, serta maraknya investasi di sektor pertambangan. “Kami berharap memasuki tahun politik 2024, pesta rakyat tersebut tetap memerhatikan faktor keamanan sebagai prioritas, agar iklim investasi berjalan dengan kondusif,” tegas Sanny.

Dia menjelaskan, dinamika permasalahan oleh dunia usaha saat ini masih banyak yang harus dibenahi dan disempurnakan, baik harmonisasi regulasi maupun implementasi aturan di lapangan. Demikian juga persoalan ketersediaan infrastruktur yang sangat penting untuk mendukung perkembangan kawasan industri di daerah.

“Sebagai contoh kebutuhan air bagi industri masih terbentur dua regulasi antara UU No 3/2014 tentang Perindustrian dan UU No 17/ 2019 tentang Sumber Daya Air, sehingga aturan pelaksanaan dari kedua UU tersebut saling tumpang tindih dan tidak sinkron satu sama lainnya,” ungkap Sanny.

Kemudian terdapat beberapa permasalahan besar lain yang dapat mengganggu iklim investasi di Indonesia. Permasalahan tersebut di antaranya soal Tata Ruang atau Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR).

Menurut dia, masih banyak daerah di Indonesia yang belum menyelesaikan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR), sehingga pengurusan KKPR menjadi terhambat. Disamping itu persetujuan Bangunan Gedung (PBG), dan sistem perizinan yang ada belum sepenuhnya terintegrasi secara online.

Proses persetujuan analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) juga banyak terhambat karena pengesahan perizinan lingkungan ditarik ke pusat, sehingga terdapat banyak antrean di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Padahal saat ini telah ada diskresi dengan diterbitkannya Keputusan Menteri LHK No 1295 tentang Transisi Percepatan Proses Persetujuan Lingkungan dalam rangka mendukung perizinan berusaha, meski hanya diberlakukan di beberapa wilayah saja.

Dia menyebut, permasalahan lainnya terkait peraturan daerah yang belum mendukung percepatan perizinan investasi, sehingga menyebabkan investor lokal maupun asing masih terkendala berbagai regulasi di daerah. Akibatnya, investasi yang masuk pun menjadi terbatas. Padahal, peranan pemerintah daerah sangat penting dalam menarik pemilik modal, mengingat potensi yang dimiliki tiap daerah cukup besar.



Sumber: Investor Daily

# Kawasan Industri# Transformasi Digital# Beritasatu Bisnis# Pusat Data# HKI
Bagikan

BERITA TERKAIT

BERITA TERKINI