Perlunya Literasi Digitalisasi Perbankan Berbasis Syariah

Jakarta, Beritasatu.com - Rendahnya pangsa pasar (market share) keuangan syariah mengindikasikan bahwa minat masyarakat terhadap keuangan syariah masih sangat rendah dibandingkan dengan konvensional.
Hal ini sejalan dengan hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) tahun 2022, dimana indeks inklusi keuangan syariah baru mencapai 12,12% tertinggal jauh dari indeks keuangan secara umum yang mencapai 85,10%.
Beberapa faktor yang diduga menjadi penyebab rendahnya minat masyarakat terhadap produk dan jasa keuangan syariah antara lain yang pertama tingkat literasi keuangan syariah rendah dimana baru mencapai sebesar 9,14% di tahun 2022.
Namun demikian, masyarakat memang harus lebih mengenal lebih jauh lagi mengenal perbankan berbasis syariah lewat berbagai literasi. Kenyataannya ada gap antara keuangan syariah dengan bank-bank konvensional, membuat Bank Syariah Indonesia harus lekas berbenah, salah satunya lewat literasi digitalisasi.
“Jadi pertama, kita perlu menyadari apa, sih, yang diinginkan oleh muslim di Indonesia. Jadi mereka menginginkan hadirnya suatu layanan keuangan. Syariah tidak hanya medis tapi juga asuransi dan juga lainnya yakni syariah yang secara financial benefit yang mereka butuhkan. Jadi itu pengalaman yang paling penting buat kita selama menjalankan BSI,” ujar Ade Cahyo Nugroho, selaku Direktur Finance dan Strategy PT Bank Syariah Indonesia (BSI) Tbk dalam diskusi Mendorong Literasi dan Inklusi Ekonomi Syariah dalam acara Ramadan Insight - Ekonomi Syariah 2023 yang diselenggarakan oleh Investor Daily di Jakarta, Kamis (30/3/2023).
Kedua, masih menurut Ade Cahyo, sekarang sudah era digital. Jumlah nasabah BSI yang transaksi di dibandingkan di bank konvensional justru mulai meningkat dari total nasabah waktu awal sebanyak 18 juta.
“Nah, kecepatan kita bergerak di digitalisasi menjadi kata kunci. Kita lihat ini ada tanda-tanda secara positif bagaimana secara umum industri perbankan itu sangat kejam menghadapi perubahan masyarakat yang sudah mengarah ke digitalisasi. Sehingga kita justru merasa sangat semangat. Berarti bank-bank tidak perlu menambah jadwal kerja lagi, bahkan kita tidak perlu nambah orang lagi. Tapi kita bisa menambah costumer 2 kali lipat, 3 kali lipat dari hari ini menggunakan teknologi,” imbuhnya.
Literasi menjadi benang merah dalam memahami muslim di Indonesia, di mana masyarakat tidak keberatan menggunakan hal-hal yang sejalan dengan nilai-nilai agama yang diyakini.
“Saya kira sepanjang harganya juga tak memberatkan mereka, masyarakat diharapkan akan memilih BSI. Karakter ini juga kita temukan di Malaysia dimana hal baiknya bank syariahnya sangat modern dan bisa berkompetisi dengan bank konvensional,” imbuh Ade.
Secara tidak langsung, peningkatan indeks literasi keuangan syariah akan meningkatkan indeksi inklusi keuangan syariah, sejalan dengan semakin besar pengetahuan masyarakat akan produk dan layanan keuangan.
Faktor lainnya, inovasi dan daya saing industri keuangan syariah masih kalah dibandingkan industri keuangan konvensional. Hal ini dapat dilihat dari lebih terbatasnya inovasi produk keuangan syariah, harga produk dan layanan yang lebih mahal serta jaringan kantor yang belum seluas industri keuangan konvensional sehingga belum dapat menjangkau masyarakat terutama di wilayah remote area.
Selama ini BSI sudah dua tahun merger dan telah menjadi bank kelima. Artinya selama ini perbankan di Indonesia hanya didominai 4 bank atau top four banks (Mandiri, BCA, BNI, BRI) dan mereka memiliki jaringan lebih dari seribu.
“Hanya mereka sebelumnya yang memiliki jaringan lebih dari seribu dan sangat dominan melakukan penetrasi market. Apa yang terjadi setelah merger, BSI menjadi bank kelima yang menjadikan lebih dari seribu jaringan. Jaringan itu tim, dan kalau kita bicara mengenai Indonesia negara kepulauan, tanpa jaringan yang luas kita kita tak mungkin melakukan penetrasi,” imbuh Ade
Masih menurut Ade, dengan adanya jaringan yang semakin luas, literasi mulai didorong, karena masalah utama memang tidak ada bank syariah sebelumnya yang punya skala sebanyak 400 - 500 jaringan saja, sehingga tidak cukup berkompetisi dengan bank konvensional jaringannya ribuan.
“Nah, itu kita berterimakasih sekali pada pemegang saham kita, tentunya regulator dan kementerian yang mendorong untuk memaksa melaksanakan merger itu terjadi. Kalau tidak terjadi rasanya gak mungkin ada bank syariah yang sekarang bisa bersaing dengan top four bank,” tegasnya.
BERITA TERKAIT
BERITA TERKINI
Bursa Eropa Anjlok karena Imbal Hasil Obligasi AS ke Level Tertinggi dalam 16 Tahun
4
B-FILES


ASEAN di Tengah Pemburuan Semikonduktor Global
Lili Yan Ing
Perlukah Presiden/Kepala Negara Dihormati?
Guntur Soekarno
Urgensi Mitigasi Risiko Penyelenggara Pemilu 2024
Zaenal Abidin