Jakarta - Skeptisisme masih muncul atas mencuatnya nama calon Chatib Basri, atau akrab disapa Dede, sebagai calon menteri di bidang perekonomian bila reshuffle jadi dilaksanakan oleh Presiden Joko Widodo. Sebab Dede, yang mantan menteri keuangan di era Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono justru sudah terbukti gagal.
"Saya hanya bicara fakta. Pelemahan Rupiah terhadap US Dolar sudah dimulai sejak zaman Dede jadi Menkeu. Dan tidak ada langkahnya yang efektif menahan pelemahan rupiah," kata ekonom Dradjad H. Wibowo, Senin (13/7).
Untuk mengingatkan, Dradjad mempersilakan siapapun untuk mengecek pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan Chatib Basri saat menjadi menteri keuangan terkait pelemahan rupiah.
Sebagai latar belakang, tren pelemahan rupiah memang sudah dimulai sejak tahun 2011 lalu. Saat itu, Chatib Basri menjabat sebagai menteri keuangan.
Sebelum dikritisi oleh Dradjad, nama Chatib Basri sebagai kandidat calon menteri yang hendak dimasukkan ke kabinet juga dikritisi Peneliti di lembaga Lingkar Study Perjuangan, Agus Priyanto.
Dia mengingatkan Presiden Jokowi agar tidak gegabah menarik Chatib Basri masuk kabinet. Sebab, masuknya Chatib justru dikhawatirkan akan menjauhkan kebijakan pemerintah dari cita-cita Trisakti dan Nawacita.
Menurut Agus Priyanto, saat jadi menteri keuangan di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), prestasi Chatib sebenarnya tak istimewa. Agus menilai Chatib memanjakan pasar daripada kepentingan rakyat luas.
“Chatib Basri yang sudah dikenal luas dengan pernyataannya tentang ‘kantongi nasionalisme-mu’. Ini jelas-jelas akan bertentangan dengan cita-cita Trisakti dan Nawacita yang mengharapkan kehadiran peran negara di tengah-tengah rakyatnya,” ujar Agus.
Menurutnya, Chatib yang pernah menjadi komisaris di Astra memiliki rekam jejak yang kontraproduktif bagi sektor transportasi publik ketika sebagai Menkeu dengan menurunkan tarif impor komponen dan suku cadang untuk industri mobil kutu atau low-cost green car (LCGC). Akibatnya, penjualan mobil kutu di dalam negeri melonjak dari nol menjadi 150.000 unit hanya untuk tahun 2014.
“Jadi bukan mencari jalan untuk mengembangkan transportasi publik, malah melakukan pengurangan pajak impor spareparts dan komponen mobil kutu yang membuat kota-kota besar di Indonesia tambah macet,” jelas Agus.