JAKARTA – Potensi gagal bayar (default) obligasi PT Kawasan Industri Jababeka Tbk (KIJA) yang berlarut-larut bisa berimbas negatif terhadap kinerja keuangan ke depan. Sedangkan perombahan manajemen perseroan di luar agenda RUPST yang telah disampaikan di Bursa Efek Indonesia (BEI) bisa dikategorikan sebagai aksi pengambilalihan secara paksa (hostile takeover) perusahaan.
Head of Research Department Koneksi Capital Alfred Nainggolan mengatakan, dinamika yang terjadi pada emiten Jababeka cenderung mengarah kepada konflik pemegang saham. Hal ini ditandai dengan adanya pergantian susunan direksi dan komisaris perseroan di luar agenda RUPS. “Kejadian seperti ini bisa dikatakan sebagai hostile takover, terlebih dengan terdiversifikasinya pemegang saham KIJA memperbesar peluang terjadinya hal itu,” paparnya di Jakarta, Jumat (12/7).
Menurut dia, proses hostile takeover sudah pasti sulit berjalan mulus dan bisa mempengaruhi roda usaha, karena konflik ini akan berujung pada konflik kepemimpinan di perusahaan tersebut. “Kekhawatiran investor pada KIJA saat ini lebih kepada penyelesaiaan konflik ketimbang munculnya ancaman default dari kewajiban buyback obligasi,” paparnya.
Sebenarnya, lanjut dia, solusi terbaik untuk mengatasi persoalan ini adalah dengan jalan proses rekonsiliasi di pemegang saham. “Dengan cara itu lebih mudah bagi emiten, seperti Jababeka, untuk membicarakan dengan pemegang obligasi, karena kinerja perusahaan masih memiliki prospek baik ke depan,” paparnya.
Kisruh dalam tubuh Jababeka bermula dalam RUPST 2019, dua pemegang saham yakni PT Imakotama Investindo yang menguasai 6,387% saham KIJA dan Islamic Development Bank sebesar 10,841% dari seluruh saham KIJA, mengusulkan agenda tambahan untuk pergantian dirut dan komisaris. Usulan itu disetujui dengan jumlah suara 52,117% oleh pemegang saham. Namun, RUPST tersebut diwarnai sejumlah kejanggalan.
Pertama, jumlah kehadiran pemegang saham saat RUPST 2019 mencapai 90,432% meningkat secara signifikan dibandingkan dengan jumlah kehadiran tahun-tahun sebelumnya yaang sebanyak 44,945% di tahun 2018 dan 53,372% di tahun 2017. Kedua, usulan pergantian dirut itu tidak melalui tahapan uji kelayakan (fit and proper test) lebih dahulu dari Komite Nominasi dan Remunerasi (KNR), yang dalam hal ini fungsinya dijalankan oleh Dewan Komisaris.
Secara terpisah, Budianto Liman, mantan dirut Jababeka, menegaskan, saat ini perseroan sedang berusaha mengkaji apa yang terjadi dalam RUPST dengan menunjuk konsultan legal. Pendapat dari konsultan legal tersebut yang menjadi rujukan sah atau tidaknya adanya perubahan pengendalian saham dalam Perseroan.
Dan dalam hal terjadinya perubahan pengendalian dalam perseroan sebagaimana dimaksud dalam syarat dan kondisi dari Notes yang mengacu pada hukum Amerika Serikat (US Law), maka perseroan berkewajiban untuk memberikan penawaran pembelian kepada para pemegang notes. Sehingga jika hal ini terjadi, maka bisa dikatakan bahwa perseroan menjadi korban atas keputusan RUPST tersebut.
Di sisi lain, Budianto menyatakan optimistis Jababeka mampu mengatasi permasalahan ini dengan solusi terbaik. “Kami tetap optimistis dapat mencari solusi terbaik,” paparnya.
Berdasarkan keterangan tertulis yang disampaikan Direktur Utama Jababeka Soegiharto di Bursa Efek Indonesia (BEI) pekan lalu menyebutkan keputusan pengangkatannya sebagai direktur utama dan Aries Liman sebagai Komisaris adalah keinginan mayoritas pemegang saham publik yang hadir pada RUPST yang berjumlah 52,12% dari keseluruhan pemegang saham yang menggunakan hak suaranya.
Soegiharto juga menampik kabar ada perubahan pemegang saham pengendali setelah RUPST yang disahkan. Sebab, penyertaan saham yang dimiliki Mu’min Ali Gunawan masih 21,09% sejak Juni 2018 hingga Juli 2019. Begitu juga dengan kepemilikan saham Islamic Development Bank (IDB) di KIJA masih stagnan 9,32% dan Imakotama Investindo tetap memiliki 6,16% sejak 31 Desember 2018 sampai sekarang.
Soegiharto menyatakan pengakuan Tedjo Budianto Liman sebagai korban dari acting in concert atau konspirasi dari pemegang saham JIKA tidak benar. Sebab, jumlah kepemilikan saham Mu’min Ali Gunawan, IDB, dan Imakotama masing-masing di bawah 40%, sehingga tidak mengalahkan kepemilikan saham permitted holders yaitu Setyono Djuandi Darmono dan Hadi Rahardja selaku co-founders KIJA.
Soegiharto menyatakan dengan tegas bahwa isu yang beredar bahwa KIJA melakukan penawaran pembelian Notes karena adanya orang atau grup yang mencoba mengambil alih perusahaan dikonfirmasi tidak valid.(hut)
Sumber: Investor Daily