Jakarta, Beritasatu.com - Pengembang properti meminta Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Menpupera) Nomor 11/PRT/M/2019 tentang Sistem Perjanjian Pendahuluan Jual Beli (PPJB) Rumah direvisi. Aturan itu dinilai memberatkan pengembang, sehingga akan berdampak kepada penjualan hunian, terutama rumah susun (rusun).
Demikian rangkuman pendapat Ketua Umum DPP Real Estat Indonesia (REI) Soelaeman Soemawinata, Direktur Utama PT Bhakti Agung Propertindo Tbk Agung Hadi Tjahjanto, Direktur dan Sekretaris Perusahaan PT Ciputra Development Tbk Tulus Santoso, Direktur PT Metropolitan Land Tbk Wahyu Sulistio, dan CEO Indonesia Property Watch (IPW) Ali Tranghanda. Mereka diwawancarai secara terpisah dari Jakarta, Rabu (14/8).
"Peraturan itu bagus, tetapi harusnya berimbang, yaitu melindungi konsumen dan pengembang. Karena itu, perlu direvisi. Kami menilai, saat ini hanya melindungi konsumen. Jika tidak direvisi akan mengurangi peran pengembang dalam membangun hunian, artinya masyarakat juga yang akan kena imbas," kata Agung Hadi.
Dalam aturan baru PPJB itu disebutkan bahwa apabila pelaku pembangunan lalai memenuhi jadwal, calon pembeli dapat membatalkan pembelian rumah tunggal, rumah deret, atau rusun. Lalu, seluruh pembayaran yang diterima pelaku pembangunan harus dikembalikan sepenuhnya kepada calon pembeli.
Selain itu, apabila pembatalan bukan disebabkan oleh kelalaian pelaku pembangunan, maka pelaku pembangunan mengembalikan pembayaran yang telah diterima kepada calon pembeli dengan potongan 10% dari pembayaran yang telah diterima oleh pelaku pembangunan, ditambah biaya pajak yang telah diperhitungkan.
Menurut Wahyu Sulistio, bagian yang kurang adil adalah belum atau tidak ada sanksi atau konsekuensinya jika konsumen yang tidak memenuhi kewajiban pembayaran atau telat bayar. “Lalu, pengembalian uang konsumen seharusnya dipotong PPn yang telah disetor pengembang ke negara, tidak penuh karena setiap konsumen menyetorkan cicilan PPn-nya langsung dibayarkan oleh pengembang,” ujarnya.
Karena itu, Wahyu menegaskan bahwa peraturan tersebut perlu direvisi. Alasannya, apabila tidak direvisi, maka risiko menjadi semakin tinggi, khususnya untuk proyek hunian vertikal (highrise strata title) yang progres pembangunannya tidak bisa ditunda atau dihentikan sebagian.
Sementara itu, Tulus Santoso menilai aturan baru PPJB itu semestinya tidak terlalu mengatur commercial term dan sebaiknya pasar yang menentukan. "Tidak perlu diatur terlalu detail. Peraturan itu harus direvisi," tegasnya.
Wahyu dan Agung mengaku, perlu untuk membagi risiko secara proporsional sebagai konsekuensi para pihak atas keputusan tidak melanjutkan perjanjian jual beli. “Perlu juga disampaikan penjelasan lebih terperinci untuk mencegah multitafsir dari peraturan menteri tersebut,” papar Wahyu.
Minta Penjelasan
Sementara itu, Soelaeman "Eman" Soemawinata akan meminta penjelasan dari pemerintah terlebih dahulu terkait dikeluarkannya Peraturan Menpupera Nomor 11/PRT/M/2019.
"Kita masih mau minta penjelasan terlebih dahulu kepada Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat mengenai dikeluarkannya peraturan tersebut. Aturan ini akan berdampak kepada penjualan hunian, terutama satuan rumah susun,” katanya.
Menurut Eman, ada dua hal yang disoroti dalam peraturan tersebut, yakni peraturan tersebut merupakan revisi dari dua peraturan menpupera sebelumnya yang terbit pada 1994 dan 1995, dan masalah UU Perumahan. Pemerintah melihat kedua peraturan itu sudah lama dan perlu direvisi.
Karena itu, sebagai asosiasi pengembang perumahan, pihaknya akan meminta penjelasan terlebih dahulu kepada pemerintah, sebelum peraturan itu diberlakukan secara resmi. Peraturan ini bisa menimbulkan multitafsir. Contohnya, masalah pengembalian yang dikenai potongan 10% dan juga hak konsumen untuk meminta kembali dananya.
“Kami berharap pemerintah bisa memberikan penjelasan secara umum kepada kami tentang peraturan tersebut, sehingga bisa memberikan kepastian. Saat ini kami belum memutuskan langkah berikutnya. Setelah mendapat penjelasan pemerintah, kita akan berikan sikap,” katanya.
Eman juga mencontohkan masalah izin mendirikan bangunan (IMB) di DKI Jakarta. Pengembang bisa melakukan penjualan apabila sudah mendapatkan IMB dari Pemprov DKI Jakarta. Untuk mendapatkan IMB di DKI Jakarta, seluruh pembangunan harus sudah selesai.
Sebelum mendapatkan IMB, terlebih dahulu harus ada izin-izin lain, seperti izin pemeriksaan gedung, izin lahan, izin untuk perubahan ruang, izin bangunan gedung, izin utilitas bangunan, dan lainnya.
“Mungkin bagi rumah tapak tidak begitu masalah, tetapi untuk rumah satuan rusun, pasti banyak aturannya dan ini juga yang harus diketahui. Untuk mendapat izin-izin tersebut bisa mencapai 3-4 tahun,” katanya.
Ali Tranghanda menilai peraturan tersebut membutuhkan sosialisasi lebih baik dan memang seharusnya sebelum ada peraturan tersebut, Kempupera harus melakukan audiensi. Sayangnya, hal itu tidak dilakukan, sehingga memberatkan para pengembang.
Dia menambahkan, sebenarnya untuk rumah tapak tidak terlalu bermasalah karena IMB bisa cepat keluar. Namun, agak berat untuk apartemen, karena diatur Undang-Undang Rumah Susun. Masalahnya, IMB apartemen itu bisa 2-3 tahun baru selesai.
"Menurut saya seharusnya para pihak dapat melakukan pertemuan karena memang ada beberapa hal yang memberatkan pengembang," katanya.
Sumber: Investor Daily