Jakarta, Beritasatu.com - Terpuruknya para pangusaha akibat memburuknya ekonomi selama pandemi Covid-19, bisa mengancam perbankan dan industri jasa keuangan di Indonesia. Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan, Wimboh Santoso, mengatakan masa krisis menjadi momentum bagi Indonesia untuk meredesain arsitektur ekonomi.
Menurutnya hal ini sudah seharusnya dilakukan sejak dulu, terutama pada masa krisis tahun 1997/1998.
"Sudah selayaknya kita meredesain tatanan ekonomi, bahkan mungkin juga tatanan hukum, dan tatanan sektor keuangan," ujar Wimboh dalam seminar daring Kagama Inkubasi Bisnis X bertajuk “Best Practice Manajemen Krisis: Membangun Network dan Potensi Funding untuk Melewati Masa-masa Sulit” yang digelar Pengurus Pusat Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada (PP Kagama), Minggu (31/5/2020).
Selain Wimboh yang hadir sebagai keynote speaker, seminar tersebut juga dihadiri Ketua Umum PP Kagama Ganjar Pranowo, serta para narasumber seperti Friderica Widyasari Dewi (Direktur Utama PT Danareksa Securitas), Arief Bintoro Dibyoseputro (Praktisi Manajemen Krisis dan Ekosistem Industri), dan Eni Widiyanti (Kepala Bidang Perbankan Kemenko Perekonomian RI). Bertindak sebagai moderator Aji Erlangga, Ketua Departemen Peningkatan Kompetensi Alumni, PP Kagama. Selain itu hadir juga pembahas utama Dandung S Harninto, pengurus Kadin bidang Konstruksi dan Infrastruktur serta Cahyadi, Ketua ABDSI (Asosiasi Pendamping UMKM).
Dalam paparannya, Wimboh menjelaskan, setiap negara memiliki kondisi budaya, ekonomi dan kerangka hukum yang berbeda-beda, sehingga respons terhadap pandemi Covid-19 pun berbeda pula. Dibandingkan dengan negara-negara lain, Indonesia kata Wimboh, masih berada di level "merangkak ke atas". Penting bagi pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk mengontrol hal ini.
"Kalau sekarang kondisi pasar modal terkena sentimen negatif, tapi pasar modal memiliki pandangan ke depan yang kuat. Namun, di sektor riil-nya, Indonesia masih melangkah," tutur Wimboh.
Alumnus Universitas Illinois ini mengungkapkan, sektor riil yang masih lemah itu ditunjukkan dengan laporan Produk Domestik Bruto (PDB) di kuartal I 2020, hanya 2,97 persen. Persentase ini mengalami penurunan dibandingkan triwulan IV tahun 2019.
"Ini di luar dugaan, kami prediksikan ekonomi tumbuh di angka 4. Tetapi ternyata turun drastis. Meskipun demikian, Indonesia masih mengalami pertumbuhan ekonomi yang positif dibandingkan negara lain walaupun rendah persentasenya," terangnya.
Pemerintah dan semua pemangku kepentingan, sudah seharusnya berpikir out of the box. Menurut Wimboh, Indonesia tak bisa menjalankan roda bisnis seperti di masa normal.
"Di masa pandemi ini kita mengusahakan untuk bergerak cepat. Jangan sampai ada instabilitas di sektor jasa keuangan," jelas pria yang pernah menjabat sebagai Executive Director International Monetary Fund (IMF) itu.
Seluruh pemangku kepentingan, kata Wimboh, harus sinergi. Saat ini, sektor informal (mikro, ultra mikro, dan UMKM) yang paling terdampak, karena rata-rata mereka bekerja dengan tujuan utama untuk makan, sehingga sektor ini menjadi prioritas yang harus ditangani.
Pemerintah sudah melakukan perluasan bantuan sosial, relaksasi kredit, memberikan subsidi bunga, dan sebagainya. Begitu juga dengan BI yang sudah menjaga likuiditas di pasar, sehingga sektor keuangan stabil. Nasabah yang mengajukan kredit di bank kini tak bisa mengangsur dan diberikan relaksasi. Di sektor keuangan, OJK melarang perbankan melakukan penagihan melalui debt collector kepada nasabah di masa pandemi.
"Hal ini dilakukan supaya masyarakat bisa tenang, tetap bisa makan. Kita sudah memberikan insentif kepada lembaga keuangan lewat restrukturisasi kredit dan subsidi bunga," jelas pria kelahiran Boyolali, Jawa Tengah ini.
Restrukturisasi paling utama ditujukan untuk kredit-kredit kecil UMKM. Sedangkan untuk perbankan, OJK dan Kemkeu menyiapkan penyangga likuiditas perbankan, supaya tetap bisa membayar kewajibannya kepada pemegang deposito dan tabungan, terlebih lagi jika ada nasabah yang ingin menarik uang di bank.
"Skemanya sudah disiapkan, likuiditas pasar akan kita jaga, likuiditas dan fasilitas BI tetap jalan. Apabila fasilitas yang ada tidak mampu membantu, maka OJK akan menyediakan likuiditas yang disalurkan melalui bank-bank besar. Ini hanya sebagai amunisi bagi perbankan supaya tetap kuat," tuturnya.
Bahkan, lanjut Wimboh, BI memberikan keleluasaan kepada bank penerima bantuan likuiditas, jikalau tak bisa mengembalikan uang, maka pembayaran akan dilakukan autodebit pada uang tersebut.
Wimboh berujar, restrukturisasi untuk bank-bank yang memberikan kredit kepada UMKM sudah dilakukan. Kini tugas berikutnya bagi OJK dan pemangku kepentingan terkait adalah membantu para pengusaha menengah.
Sumber: BeritaSatu.com