Jakarta, Beritasatu.com - Direktur Eksekutif Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Firman Bakri menyampaikan, Pemerintah perlu mengambil momentum semangat Hari Kemerdekaan untuk mendeklarasikan memakai produk dalam negeri. Dengan begitu, diharapkan industri di Indonesia yang ikut dihantam pandemi Covid-19 bisa kembali bergerak karena produk-produknya banyak yang terserap.
“Ini saya rasa jadi kunci utama untuk recovery ekonomi, supaya industri kita kembali bangkit. Alangkah sayangnya ketika pemerintah selama pandemi ini sudah menyubsidi industri dan masyarakat untuk meningkatkan daya beli, ternyata yang dibeli barang-barang impor," kata Firman Bakri, Jumat (7/8/2020).
Bila yang digunakan lebih banyak barang-barang impor, Firman mengatakan yang diuntungkan hanyalah industri atau pabrik yang berada di luar negeri.
"Padahal kita di sini di pabrik dalam negeri harus menghidupi tenaga kerja, supplier kita, masyarakat di sekitar pabrik. Jadi perlu ada gerakan untuk mendorong memakai produk dalam negeri dengan membangun perspektif dari sisi konsumen. Ini penting supaya industri kita kembali bangkit dan tidak lagi banyak terjadi PHK," tuturnya.
Iklim Investasi
Firman juga menilai salah satu permasalah yang membuat angka pengangguran di Indonesia masih tinggi dikarenakan iklim investasi yang tidak kompetitif dibandingkan negara pesain di ASEAN. Padahal investasi sangat penting untuk mendorong penciptaan lapangan kerja yang semakin besar. Salah satu contohnya kenaikan upah di beberapa daerah di Indonesia yang lebih tinggi dibandingkan beberapa negara pesain di ASEAN.
“Masalah ketenagakerjaan seperti upah ini pada akhirnya menaikkan ongkos produksi, sehingga harga jual produk menjadi lebih tinggi. Tentu ini akan memengaruhi pertimbangan buyer. Kalau produk yang kita hasilkan tidak bisa terserap karena kalah bersaing, ini pada akhirnya juga akan memengaruhi nasib tenaga kerja,” kata Firman.
Ia memberi contoh adanya relokasi pabrik dari Banten ke Jawa Tengah lantaran Upah Minimum Kabupaten/Kota dan Upah Minimum Sektoral di Banten yang lebih tinggi dan menjadi beban berat pengusaha. PHK massal yang belum lama ini terjadi di pabrik sepatu di Tangerang alasan utamanya juga karena masalah daya saing yang tidak kompetitif.
“Ini isu ketenagakerjaan yang sangat krusial. Makanya saat perang dagang kemarin antara Amerika Serikat dan Tiongkok, kita tidak bisa mengambil peluangnya. Justru Vietnam yang mendapatkan benefit. Untungnya kemarin relokasi pabrik dari Banten tetap di Indonesia. Tetapi ini memperlihatkan bahwa memang ada masalah dalam isu ketenagakerjaan kita,” kata Firman.
Segera disahkannya RUU Cipta Kerja menurutnya sangat penting, supaya iklim investasi di Indonesia menjadi lebih kompetitif. Apalagi selain masalah ketenagakerjaan, hal lainnya yang juga menghambat investasi lantaran banyaknya aturan yang tumpang tindih. Ditambah lagi dengan proses perizinan yang panjang.
Hal senada disampaikan Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nasional (KSPN) Ristadi. Menurutnya, masih tingginya angka pengangguran di Indonesia disebabkan oleh lambannya pertumbuhan industri manufaktur. Padahal industri tersebut paling banyak menyerap tenaga kerja. Di sisi lain, daya saing produk yang dihasilkan menurutnya juga banyak tertinggal negara kompetitor. Hal ini berkaitan dengan alih teknologi yang berjalan lamban. Misalnya saja di industri garmen.
“Di sini, masih banyak industri garmen yang bertahan dengan teknologi lama. Sementara Vietnam, Banglades, dan juga Tiongkok sudah lebih cepat melakukan modernisasi. Sehingga pabrik di Indonesia misalnya dalam satu jam hanya mampu memproduksi 100 meter kain, negara pesaing kita itu bisa memproduksi dua sampai tiga kali lipatnya. Ini pada akhirnya memengaruhi harga jual, di mana masyarakat lebih memilih produk impor yang murah. Karena produk dalam ini tidak banyak terserap, pabrik di Indonesia akhirnya tidak berkembang dan tidak bisa melakukan ekspansi tenaga kerja, bahkan malah melakukan PHK,” kata Ristadi.
Dengan banyaknya angka pengangguran, angka kemiskinan pun ikut meningkat lantaran tidak ada lagi penghasilan untuk bertahan hidup. “Kalau pengguran meningkat, otomatis angka kemiskinan juga meningkat. Dan yang paling tidak kita inginkan bisa meningkatnya angka kriminal akibat itu,” kata Ristadi.
Sumber: BeritaSatu.com