Singapura, Beritasatu.com- Dukungan kuat pemerintah telah menyelematkan beberapa maskapai penerbangan dari kebangkrutan. Namun lebih banyak maskapai penerbangan yang menghentikan operasinya pada beberapa bulan mendatang.
Perusahaan data perjalanan, Cirium, mencatat bahwa 43 maskapai penerbangan komersial telah "jatuh" sejak Januari tahun ini, dibandingkan 46 di sepanjang 2019 dan 56 di sepanjang 2018. Menurut definisi Cirium, maskapai itu telah sepenuhnya menghentikan atau menangguhkan operasionalnya.
“Tanpa intervensi dan dukungan pemerintah, maskapai penerbangan akan mengalami kebangkrutan massal dalam enam bulan pertama krisis ini. Sebaliknya jika didukung pemerintah, potensi kebangkrutan bisa ditekan dan dikelola," kata analis independen Sobie Aviation, Brendan Sobie.
Sobie mengatakan banyak maskapai penerbangan berjuang sebelum pandemi. Saat ini maskapai tersebut memiliki kesempatan lebih baik untuk bertahan karena bantuan pemerintah. “Jika ada hal penting dalam semua ini, itu adalah hal yang sangat buruk sehingga pemerintah tidak punya pilihan selain mendukung,” kata Kepala Konsultan Global Cirium, Rob Morris.
Morris mengatakan, meski ada bantuan keuangan, prospek di sisa tahun 2020 tidak menggembirakan. "Kegagalan maskapai penerbangan biasanya terjadi dalam beberapa bulan terakhir tahun ini," katanya kepada CNBC melalui email.
Kuartal pertama dan keempat adalah masa yang paling sulit karena sebagian besar pendapatan dihasilkan di kuartal kedua dan ketiga. “Saya biasanya menggambarkan bahwa maskapai penerbangan menghabiskan musim panas seperti membangun 'peti perang', sehingga mereka dapat bertahan di musim dingin,” tambahnya.
Tujuan maskapai penerbangan saat ini hanya untuk bertahan hidup dengan biaya berapa pun. Maskapai melihat apakah musim panas 2021 membawa solusi dengan permintaan lebih tinggi.
“Dengan tidak adanya permintaan di sebagian besar wilayah, maskapai penerbangan masih berjuang dengan pendapatan dan arus kas. Kami memperkirakan ada lebih banyak maskapai yang menghentikan operasionalnya pada kuartal terakhir tahun 2020 dan setidaknya kuartal pertama 2021,” katanya.
Brendan Sobie dari Sobie Aviation setuju dengan prediksi tersebut. Menurutnya beberapa pemerintah mungkin enggan memberikan jaminan kepada maskapai penerbangan untuk kedua kalinya. “Tapi saya tetap tidak mengharapkan kebangkrutan massal. Jumlah kebangkrutan dan keruntuhan harus bisa dikelola,” ujarnya.
Maskapai Besar Terdampak
Menurut Morris, maskapai penerbangan besar juga terkena dampak pandemi Covid-19.
Dari 43 maskapai penerbangan yang di ambang kebangkrutan pada 2020, sebanyak 20 di antaranya mengoperasikan 10 pesawat, dibandingkan 12 di sepanjang 2019 dan 10 sepanjang 2018, data Cirium menunjukkan.
“Meski kami melihat lebih sedikit kegagalan maskapai tahun ini, jumlah maskapai penerbangan yang tidak beroperasi sebanyak 10 atau lebih pesawat, sudah lebih besar daripada dalam enam tahun terakhir. Jadi jelas bahwa pandemi berdampak pada maskapai yang lebih besar dan menyebabkan mereka gagal,” kata Morris.
Sejauh ini, sekitar 485 pesawat tidak beroperasi dibandingkan 431 pada 2019 dan 406 pada 2018.
Dia menyoroti bahwa kebangkrutan maskapai akibat buruknya model bisnis atau masalah lainnya. Namun penyebab utama pada 2020 dan di tahun mendatang merupakan dapak hilangnya permintaan akibat pandemi Covid-19
Asosiasi Transportasi Udara Internasional minggu ini mengatakan bahwa industri penerbangan akan menghabiskan US$ 77 miliar dalam bentuk tunai pada paruh kedua tahun 2020, dan terus mengalami pendarahan sekitar US$ 5 miliar atau US$ 6 miliar per bulan pada tahun 2021 karena melambatnya pemulihan.
Asosiasi pada Juli mengatakan lalu lintas penumpang kemungkinan akan kembali ke level 2019 pada 2024.
Sumber: CNBC