Jakarta, Beritasatu.com - Pendiri Bumi Global Karbon Foundation (BGKF) Achmad Deni Daruri mendorong pemerintah memberikan insentif pajak kepada perusahaan atau industri yang sudah menjadi netral karbon. Begitu pula untuk perusahaan yang dapat menyeimbangkan emisi karbon yang dihasilkan dari proses produksinya.
Deni mengungkapkan, dalam implementasi keterbukaan pengungkapan environment, social, governance (ESG), Indonesia berada di peringkat 36 dunia dengan ESG disclosure sebesar 30%. Posisi Indonesia ada di bawah Thailand yang menempati peringkat sembilan, Malaysia 22, dan Filipina 30. ESG disclosure negara-negara tersebut di atas 40% hingga 60%.
“Kenapa ESG disclosure mereka bisa tinggi? Pertama memang karena sudah mandatori. Kedua, ada insentif dari negaranya,” kata Achmad Deni Daruri dalam acara ESG Awards 2020 yang digelar Majalah Investor-Berita Satu Media bekerja sama dengan Bumi Global Karbon Foundation, Selasa (17/11/2020).
Deni menyampaikan, sebenarnya sudah banyak aturan yang mengharuskan perusahaan membuat laporan emisi, mulai Perpres Nomor 61 tahun 2011 tentang Rancangan Aksi Nasional Gas Rumah Kaca, Undang-undang No 16 tahun 2016 pengesahan Paris Agreement, dan POJK 51/03 tahun 2017. Namun, sampai saat ini, sedikit sekali perusahaan yang patuh terhadap peraturan tersebut karena tidak adanya penghargaan dan hukuman yang jelas dari pemerintah.
Menurut Deni, saat ini perusahaan di dunia yang mengarah ke sertifikasi netral karbon terus bertambah. Mereka memahami bahwa periode 2020-2030 adalah transisi untuk climate risk, sehingga diperlukan road map yang jelas dalam penurunan emisi dari kegiatan usahanya, agar tidak terjadi risiko biaya yang tinggi dan kebangkrutan di masa mendatang.
Deni menambahkan, untuk mendukung komitmen perusahaan mengedepankan industri ramah lingkungan, di negara lain, pemerintahnya memberikan penghargaan kepada perusahaan yang sudah netral karbon berupa insentif penurunan pajak, bunga dan kemudahan lain. Selain itu, negara juga memberikan hukuman berupa pajak karbon kepada industri yang tidak mencapai target dalam penurunan emisi dari kegiatan usaha.
BACA JUGA
Direktur Eksekutif Asosiasi Emiten Indonesia (AEI) Samsul Hidayat mengungkapkan, sejak tahun 2017, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah memberikan mandatori bagi perusahan untuk menyampaikan laporan ESG. Tetapi memang pelaksanaanya dilakukan secara bertahap. “Makanya perbankan yang Buku I dan II meningkat. Buku III dan IV mungkin tahun ini mulai menyampaikannya. Untuk emiten kelas menengah ke atas sebenarnya juga wajib menyampaikannya mulai tahun ini. Hanya saja kami dari asosiasi emiten dan beberapa anggota pada Juni lalu meminta relaksasi dari OJK untuk menyampaikan kewajiban pelaporan sustainability report ini mulai tahun depan, dan ini sudah disetujui OJK. Sebab krisis pandemi ini menyebabkan sebagian besar emiten kesulitan menyampaikan laporan sustainability report,” kata Samsul Hidayat.
Sementara itu menurut Guru Besar IPMI International Business School Roy Sembel, implementasi ESG bisa saja mendorong percepatan pemulihan ekonomi. Sebab di dalamnya ada faktor kesalahan masa lalu yang dikoreksi. Tetapi bila kesalahan tersebut tidak diperbaiki, maka pemulihannya akan menjadi semu. “Kalau pemulihannya semu, akibatnya suatu ketika dia akan jatuh lagi,” kata Roy.
Pandemi Covid-19 juga diharapkannya dapat membangkitkan kesadaran korporasi untuk shifting menjadi lebih memperhatikan aspek ESG. “Seperti halnya Covid-19 mendorong orang masuk ke digital, Covid-19 juga mendorong orang untuk refleksi, merenungkan kembali kita sebenarnya salahnya apa. Di sini salah satunya bahwa mindset kita salah dalam berbisnis yang terkait take, make dan waste-nya. Jadi caranya yang harus berubah, sehingga kita harus punya indikator yang tepat untuk mencapai tujuan yang tepat, supaya arahnya lebih tepat lagi,” kata Roy.
Sumber: BeritaSatu.com