Jakarta, Beritasatu.com - Kementerian Perhubungan (Kemhub) menerbitkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 59 untuk mengatur keselamatan lalulintas sepeda. Di masa pandemi Covid-19, penggunaan sepeda di Indonesia meningkat 10 kali lipat dibanding negara lain seperti Amerika, Prancis, dan Inggris.
“Kemhub menerbitkan Peraturan Menteri Perhubungan (PM) 59 ini untuk mewujudkan ketertiban dan keselamatan berlalulintas bagi pesepeda. Kita masih menemukan beberapa hal tata cara penggunaan pesepeda yang kurang sesuai aturan,” kata Direktur Sarana Transportasi Jalan Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Pandu Yunianto secara virtual, Selasa (17/11).
Pandu menambahkan, lajur khusus sepeda yang sudah disiapkan juga terkadang tidak digunakan pesepeda. Bahkan cara-cara mereka berlalulintas masih ditemui berjajar lebih dari dua baris. Sehingga menciptakan kerumunan yang membahayakan di masa pandemi.
PM 59 tahun 2020 antara lain mengatur persyaratan teknis sepeda, tata cara bersepeda, dan fasilitas pendukung yang harus disiapkan untuk keselamatan pengguna.
Mengacu pada Standar Nasional Indonesia (SNI), terdapat dua persayaratan teknis sepeda yang harus dipenuhi pengguna. Pertama, jika sepeda yang secara umum digunakan untuk keperluan sehari-sehari seperti sekolah, menuju pasar dan kantor, maka beberapa hal yang perlu dipenuhi adalah bel sepeda, spakbor, rem, pedal yang memiliki reflektor, lampu, alat pemantul cahaya, dan alat pemantul di pedal atau di bagian sepeda lainnya.
Kedua, bagi sepeda yang digunakan untuk keperluan balap dan sepeda gunung tidak diwajibkan adanya spakbor karena dari pabriknya sudah didesain seperti itu sekaligus untuk kemudahan penggunaan.
Sedangkan mengenai tata cara bersepeda, PM 59 Tahun 2020 mengatur ketentuan penggunaan alat pelindung berupa helm. Pada malam hari, pesepeda juga wajib menggunakan pakaian atau atribut yang dapat memantulkan cahaya. Berikut dengan penggunaan alas kaki bagi pesepada mengingat sepeda merupakan bagian dari lalulintas umum. Maka pesepeda wajib memahami dan mematuhi cara berlalu lintas.
“Meliputi bagaimana misalnya cara berhenti, belok, dan menyiap kendaraan lain itu semua diatur. Temasuk larangan di sepeda antara lain sepeda tidak boleh ditarik kendaraan lain dengan batas kecepatan yang dapat membahayakan keselamatan. Selain itu, sepeda juga tidak boleh mengangkut penumpang apabila sepeda tersebut tidak menyediakan boncengan,” jelas Pandu.
Lebih jauh, selama bersepeda, pesepeda juga tidak diperkenankan menggunakan perangkat telepon atau handphone. Tidak juga menggunakan payung pada saat bersepeda dan tidak berdampingan dengan kendaraan lain kecuali ditentukan rambu-rambu lalulintas. Yang lebih penting menurut dia, PM 59 mengatur soal berkendara secara sejajar. Jadi pesepeda tidak boleh berkendara lebih dari dua baris.
Aspek lain yang juga diatur adalah isyarat tangan ketika pesepeda hendak belok, berhenti atau mempersilakan pengguna jalan lain untuk mendahului. “Jadi dengan merentangkan tangan ke kiri atau kanan atau ke atas telah diatur di dalam PM 59. PM tersebut juga mengatur tanda-tanda yang dapat digunakan di sepeda untuk mengingatkan pengguna jalan lainnya apabila pengguna sepeda itu menyandang disabilitas,” paparnya.
Infrastruktur Lebih Penting
Di sisi lain, Ketua Bike to Work Indonesia Poetoet Soedarjono menilai peraturan yang dibuat pemerintah mengenai pesepeda tidak realistis lantaran tidak sesuai kondisi lapangan. Padahal regulasi yang dibutuhkan sejatinya harus dapat digunakan untuk semua pengguna sepeda.
Untuk itu, infrastruktur menjadi komponen penting guna menjamin keselamatan para pesepeda. Jalur sepeda yang terproteksi harus menjadi prioritas dibanding alat pelindung diri (APD) seperti yang dilihat di Pasal 2 dan seterusnya. Bukan sebaliknya, infrastruktur justru berada di pasal terakhir.
Sehingga dalam mewujudkan jalur sepeda yang terproteksi dibutuhkan sinergi antara pemerintah pusat dan daerah serta berbagai lembaga berwenang. “Jadi kalau semua itu didapatkan, maka pengguna sepeda akan semakin meningkat dari tahun ke tahun. Tidak saja sepeda sebagai alat olahraga tetapi juga mobilitas sehingga kita dapat menekan polusi udara, kemacetan, dan tingginya angka kecelakaan,” tegas Poetoet.
Ia mengungkapkan, mustahil tiga persoalan tersebut dapat diselesaikan jika tidak bersama-sama mengedepankan apa yang disebut dengan transportasi hijau yakni angkutan umum, sepeda, dan jalan kaki.
Sementara pengamat transportasi Djoko Setijowarno berpendapat hendaknya infrasruktur jalan yang dibangun tidak lagi berpikir hanya untuk kendaraan bermotor. Namun mengutamakan pejalan kaki, pesepeda, dan angkutan umum. Setelah itu, kendaraan bermotor.
Khusus jalur sepeda, ia berpandangan bahwa prinsip dasar untuk jalur sepeda yang berkeselamatan adalah jalur yang ada proteksinya dan jalurnya menarik. Karena itu, ia mengusuilkan di Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) selain tersedia bus pariwisata juga disediakan jalur sepeda yang tertutup. “Jadi unsur pertama keamanan dan kedua menarik,” ucapnya.
Sumber: BeritaSatu.com