Jakarta, Beritasatu.com - Kementerian Pertanian (Kemtan) mengajak kaum milenial untuk turut mengelola sektor pertanian dalam negeri. Pasalnya, dari sekitar 33 juta jumlah petani di Indonesia, jumlah petani milenial atau yang berusia 40 tahun kebawah hanya ada 30%.
Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Kemtan, Dedi Nursyamsi, mengataka, meski jumlahnya tidak signifikan, namun kontribusi petani milenial menurutnya memberikan kontribusi yang amat besar bagi pembangunan pertanian.
Di mana, sektor pertanian merupakan satu-satunya Produk Domestik Bruto (PDB) yang tetap menggeliat dan meningkat hingga 16,24% di kuartal I dan II 2020. Kenaikan PDB dari sektor pertanian tersebut, diungkapkannya tidak terlepas dari peran serta petani milenial yang ikut berpartisipasi dalam penyediaan pangan di masa pandemi Covid-19.
Padahal, dari segi penganggaran sektor pertanian mengalami penurunan. Sebab, pemerintah pusat melalui kementerian dan lembaga, pemerintah provinsi, kabupaten dan kota memangkas anggaran untuk penanganan Covid-19.
Petani di Indonesia, dikatakan Dedi, saat ini memang masih tergolong usia produktif. Namun, 10 tahun ke depan mereka sudah tidak produktif lagi sehingga dibutuhkan regenerasi pelaku pertanian dari kelompok usia milenial.
“Ini bahaya. 70% lebih petani kita atau 10 tahun akan datang umurnya tidak produktif lagi. Oleh karena itu, mau tidak mau siap tidak siap kita harus lakukan regenerasi petani ke milenial,” katanya dalam diskusi “Petani Milenial: Sukses di Kala Pandemi”, secara virtual, Senin (23/11/2020).
Menurut Dedi, sektor pertanian merupakan sektor strategis dan tepat bagi milenial asalkan dikelola secara bisnis dan benar. “Yuk turun ke pertanian dan kelola secara modern, secara bisnis, sehingga pertanian menghasilkan duit. Sekarang kalau persepsi petani harus kotor, kumal, dekil, lembek itu sudah zaman lalu. Sekarang sudah tidak begitu. Sekarang petani juga keren dan yang paling penting duitnya juga tebal,” pungkas dia.
Sementara itu, Ketua Duta Petani Milenial Sandi Octa Susila menilai, sudah saatnya sekarang bagi para milenial di Indonesia untuk melirik sektor pertanian. Sebab, dalam kondisi krisis apapun, hanya sektor pertanian yang masih mampu bertahan. Di tengah pandemi Covid-19, produk yang dihasilkannya pun masih bisa menerima permintaan yang tinggi. Bahkan ada yang mengekspor sayur-sayuran ke Eropa.
“Banyak di antara kita yang menganggap pertanian ini sektor yang kurang bonafit, kumuh. Ini yang saya rasa milenial saatnya untuk melirik. Ketika disentuh dengan milenial, betul akselerasi itu ternyata. Hingga saat ini saya masih berdiri. Saya yakin betul, yang bertahan adalah sektor pertanian,” ungkap Sandi.
Hal itu, lanjut Sandi, dapat diperoleh jika dikelola dengan benar. Adapun, Sandi mulai menekuni sektor pertanian sejak duduk di bangku perkuliahan tepatnya pada semester lima dan saat ini sudah berjalan selama lima tahun.
Sandi yang merupakan lulusan Institut Pertanian Bogor (IPB), mengungkapkan hingga saat ini memang masih banyak orang-orang yang berpandangan sektor pertanian tidak atau kurang memiliki pendapatan yang besar. Padahal, anggapan tersebut keliru.
Hal tersebut dibuktikannya dengan dimilikinya 385 rekan kerja yang mengelola lahan seluas 49 hektare. Tidak hanya itu, dia juga menjalin kerja sama dengan PT Perkebunan Nusantara VIII untuk keberlanjutan usaha yang ditekuni bersama ratusan petani lainnya.
Senada, petani milenial Jatu Barmawati juga mengakui, pertanian merupakan bisnis yang amat menjanjikan, baik secara keuntungan dan sosial. “Semua orang butuh makan, jadi ini bisnis yang tidak akan pernah mati. Apalagi, tidak hanya di Indonesia, pemerintah kita bahkan punya target untuk menjadi lumbung pangan dunia,” ujar Sandi.
Dia menjelaskan, pertanian memiliki banyak peluang dan tantangan. Di tengah pandemi, ekspor beberapa komoditas pertanian memang mengalami penurunan, tapi tidak begitu dengan komoditas olahan lainnya.
“Kita harus sadar peluang ke depan karena peluang ekspor Indonesia terbuka sangat lebar, tinggal bagaimana kita melihatnya saja,” ujar petani yang mengekspor pangan eksotis seperti jengkol, petai, manggis dan buah naga ini.
Sumber: Suara Pembaruan