Jakarta, Beritasatu.com- Kementerian Perindustrian (Kemenperin) dinilai perlu mengganti kebijakan dalam pengembangan industri tekstil dan produk tekstil (TPT), dari pendekatan pasokan (supply) menjadi kebutuhan (demand). Sebab, selama ini, banyak insentif TPT tidak tepat sasaran.
Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Aviliani menerangkan, selama ini, pemerintah banyak melihat pada sisi supply. Padahal, yang penting adalah melihat kebutuhan. Selama ini, banyak roadmap yang dibuat para menteri perindustrian untuk pengembangan TPT, tetapi terus diganti, karena tidak sesuai harapan.
“Jadi, menurut saya, mindset yang harus diubah pertama adalah lihat pasarnya dahulu seperti apa. Ketika kita sudah tahu pasarnya, pengusaha akan mengikuti dan baru kebijakan pemerintah akan menyesuaikan dengan kebutuhan pengusaha,” ujar Aviliani dalam webinar simposium Towards Responsible Supply Chain, Kamis (26/11/2020).
Dia menuturkan, ada dua pasar, yaitu domestik dan ekspor yang dapat dioptimalkan untuk menyerap produk TPT dalam negeri. Saat ini, terjadi peningkatkan kelas menengah yang luar biasa di dalam negeri. Bahkan, pada 2030, jumlah kelas menengah akan mencapai 140 juta orang. Kelas menengah itu kebanyakan diisi oleh anak-anak milenial yang menjadikan pakaian dan pariwisata sebagai kebutuhan pokok, bukan lagi sekunder. Hal ini tentunya menjadi peluang yang sangat besar untuk pelaku TPT dalam negeri.
“Makanya, sekarang harus menjadi pertimbangan, apakah isentif yang diberikan sudah sesuai dengan kebutuhan pasar atau tidak? Lalu, apakah 2022 subtitusi impor sudah siap atau belum? Kalau belum siap, berarti nanti pabrik-pabrik tidak bisa berproduksi. Jadi, di sini menurut saya ada baiknya melihat dari sisi pasar,” ujar Aviliani.
Selanjutnya untuk pasar ekspor, sekarang juga sudah berubah. Dahulu pasar ekspor yang menguntungkan itu dari negara maju, namun sekarang itu kecenderunganya justru negara berkembang.
Setelah pasar, dia menegaskan, pemerintah perlu memperhatikan rantai pasokan yang ada di dalam negeri. Aviliani menerangkan, saat ini, angka incremental capital output ratio (ICOR) Indonesia sangat tinggi, menandakan produktivitas rendah sekali. Sebab, banyak pengusaha yang cenderung nyaman berada di hilir yang nilai tambahnya rendah.
Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jemmy Kartiwa Sastraatmaja mendorong, para pelaku industri TPT nasional, baik skala besar, menengah, dan kecil untuk mengutamakan penggunaan bahan baku rayon dan poliester, ketimbang katun yang selama ini diperoleh dari impor.
Dari sisi kualitas, dia menuturkan, rayon memiliki keunggulan, dibanding katun, di antaranya bahan lebih lembut tidak mudah kusut dan warna lebih baik. Adapun kelebihan poliester adalah tahan lama, tahan jamur dan bakteri, serta perawatannya lebih mudah.
Dia mengatakan, industri TPT hulu dalam negeri memiliki kapasitas produksi serat rayon dan poliester yang memadai untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Hingga Agustus 2020, kapasitas industri rayon nasional mencapai 800 ribu ton per tahun, sedangkan poliester diproyeksikan mencapai 1 juta ton per tahun pada 2022.
Sumber: BeritaSatu.com