Jakarta, Beritasatu.com - Direktur Penertiban Pemanfaatan Ruang, Direktorat Jenderal Pengendalian dan Penertiban Tanah dan Ruang, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Andi Renald menegaskan, penataan ruang merupakan panglima pembangunan Indonesia.
Kondisi ini mengacu pada Undang-undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, dimana fungsi penertiban pemanfaatan ruang sebagai upaya pengendalian pemanfataan ruang yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan dengan cara mewujudkan tertib tata ruang.
Pasalnya, bila tidak ada upaya penertiban pemanfaatan ruang, maka setiap indikasi ketidaksesuaian dan pelanggaran ruang berujung pada sulitnya mewujudkan kesejahteraan umum dan keadilan sosial.
"Di samping itu, pembangunan Indonesia yang berpegang pada tiga pilar utama, yakni ekonomi, lingkungan, dan sosial budaya, turut terganggu jika kita tidak memperhatikan penertiban pemanfaatan ruang,” jelas Andi dalam keterangan tertulis yang diterima Beritasatu.com, Senin (28/12/2020).
Menurut Andi, hingga saat ini terdapat lebih dari 6.000 indikasi ketidaksesuaian pemanfaatan yang diklarifikasi dan lebih dari 200 kasus tersebut berupa indikasi pelanggaran pemanfaatan ruang yang ditindaklanjuti oleh Kementerian ATR/BPN dan bekerja sama dengan pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, pemerintah kota seluruh Indonesia.
Bahkan, ada beberapa kasus yang sifatnya kompleks ditangani secara multidoors, yakni penangan kasus melibatkan KPK, Kepolisian, Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) kementerian seperti Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). "Penanganan kasus secara multidoors ini telah dilakukan di Lampung, Batam, dan Bangka Belitung, contohnya,” jelasnya.
Andi menambahkan, dominasi kasus indikasi pelanggaran pemanfaatan ruang itu terjadi di daerah perkotaan yang sangat berkembang. Sebab, ruang sangat terbatas, tetapi penghuninya semakin bertambah. Selain itu, terjadi urbanisasi yang tidak terencana sehingga desakan kebutuhan ruang itu semakin meningkat dan berimbas pada pelanggaran tata ruang.
Indikasi pelanggaran pemanfaatan ruang itu paling banyak terjadi di Pulau Jawa. Contohnya, alih fungsi ruang dari lahan persawahan menjadi pemukiman atau pembangunan di kawasan lindung setempat seperti di sempadan pantai, sungai, dan danau.
Menurut Andi, pengenaan sanksi bagi setiap orang atau badan yang melakukan pelanggaran di bidang penataan ruang tercantum dalam UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelanggaran Penataan Ruang. Bentuk sanksinya sendiri dapat berupa pembongkaran, penghentian sementara kegiatan, perintah pemulihan alih fungsi ruang, hingga denda.
"Sementara itu, sanksi pidana itu diberikan kepada setiap orang/badan yang melakukan tindak pidana di bidang penataan ruang setelah melalui serangkaian proses pengawasan, pengamatan, pemeriksaan, penelitian, penyidikan, hingga peradilan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku,” ungkap Andi.
Ia melanjutkan, proses penyidikan terhadap tindak pidana tersebut dilakukan oleh PPNS Penataan ruang yang kedudukannya tersebar di tingkat pusat dan daerah dengan jumlah lebih dari 800 orang. Namun, PPNS Penataan Pusat Daerah tidak memiliki hubungan subordinat dengan kementerian pusat karena merupakan Pegawai Negeri Sipil Daerah yang bertanggung jawab terhadap pimpinan daerahnya masing-masing.
Meskipun demikian, selain melakukan pengaturan, pembinaan, pengawasan, dan pelaksanaan penertiban pemanfaatan ruang, Kementerian Pusat tetap bertanggung jawab untuk melaksanakan pengaturan, pengawasan, serta pembinaan terhadap seluruh PPNS Penataan Ruang, baik yang berkedudukan di pusat maupun di daerah.
“Untuk mendukung kinerja PPNS di daerah, Direktorat Pengendalian dan Penertiban Tanah dan Ruang telah membentuk sekretariat PPNS Penataan Ruang di daerah yang saat ini sudah terbentuk di 17 Provinsi pada Kanwil BPN,” imbuhnya.
Andi menuturkan, Direktorat Penertiban Pemanfaatan Ruang juga menangani isu terkait sengketa dan konflik di bidang penataan ruang. Isu ini merupakan penyumbang konflik paling besar di Indonesia. Sebagaimana disebutkan dalam UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, penyelesaian sengketa dilakukan baik sengketa antardaerah, maupun antar pemangku kepentingan lain secara bermartabat.
"Undang-undang yang sama juga mengamanatkan agar penyelesaian sengketa dapat mengedepankan proses penyelesaian melalui musyawarah mufakat. Dalam hal ini, pemerintah pusat maupun pemerintah daerah diharapkan dapat mendukung upaya penyelesaian sengketa dan konflik di bidang penataan ruang ini sebagai fasilitator dan/atau mediator untuk mencegah munculnya konflik yang lebih luas," pungkasnya.
Sumber: BeritaSatu.com