Jakarta, Beritasatu.com – Ekonom senior Core Indonesia, Ina Primiana melihat kendala utama yang dihadapi industri manufaktur Indonesia selama ini adalah masalah daya saing. Kondisi tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah kebijakan yang memudahkan impor.
Diungkapkan Ina, pertumbuhan industri manufaktur terus mengalami penurunan dalam 10 tahun terakhir. Pada 2010, pertumbuhannya sebesar 6,4%, kemudian di 2019 hanya 4,01%. Pertumbuhan ini juga lebih rendah dari laju pertumbuhan ekonomi Indonesia. Selain itu, kontribusinya terhadap produk domestik bruto (PDB) sejak 2015 juga relatif stagnan berkisar 20%.
“Kebijakan yang memudahkan impor menyebabkan industri dalam negeri tidak dapat bersaing dengan barang impor yang harganya jauh lebih murah, sehingga penggunaan bahan baku dan bahan penolong impor lebih menjadi prioritas. Sedangkan kemudahan impor tidak berkorelasi dengan kenaikan impor dan investasi,” kata Ina Primiana dalam webinar “Agenda Reindustrialisasi Pasca-Pandemi” yang digelar Core Indonesia, Rabu (20/1/2021).
Ina juga melihat kebijakan impor atau free trade agreement (FTA) dilakukan tanpa mempersiapkan terlebih dahulu amunisi bagi industri nasional, sehingga langsung tergerus oleh produk impor. Kemudian kebijakan yang ada juga kurang tegas terhadap impor ilegal, ataupun penyalahgunaan penggunaan fasilitas impor yang telah menyuburkan bisnis online belanja barang impor.
“Berikutnya adalah tidak ada jaminan pasar bagi produk industri dalam negeri, sehingga tidak mampu bersaing. Jadi memang kesempatan dan kepercayaan terhadap industri dalam negeri itu rendah. Kadang-kadang produk dalam negeri lebih mahal karena tidak ada intervensi yang dilakukan pemerintah,” kata Ina.
Hal lainnya yang menyebabkan daya saing industri manufaktur kalah yaitu lemahnya research and development (R&D), sehingga desain produk industri dalam negeri dianggap ketinggalan dan kurang memenuhi kebutuhan industri hilir atau perdagangan. Ditambah lagi dengan mahalnya biaya logistik lantaran penerapan infrastruktur logistik belum terintegrasi dan menciptakan biaya ekonomi tinggi, serta mahalnya biaya energi bagi industri.
“Indonesia juga kurang memanfaatkan Non Tariff Measures (NTM) untuk menghadapi barang impor,” tambah Ina.
Sehingga menurut Ina, Rancangan Peraturan pemerintah (RPP) yang menjadi peraturan pelaksana Undang-Undang Cipta Kerja akan mampu mendorong reindustrialisasi, bila pasal-pasal yang ada mengatur beberapa persoalan yang dihadapi industri manufaktur tersebut. Dengan begitu daya saing industri manufaktur akan meningkat, serta surplus neraca perdagangan industri bisa tetap terjaga dan meningkat.
Sumber: BeritaSatu.com