Jakarta, Beritasatu.com – Kepala Penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta mengatakan kebijakan non-tarif atau non-tariff measures (NTM) turut memengaruhi perkembangan industri makanan dan minuman (mamin) di Indonesia. Hal ini juga berdampak pada perekonomian Indonesia karena industri mamin berkontribusi cukup signifikan terhadap produk domestik bruto (PDB).
"NTM dalam perdagangan umum dilakukan banyak negara untuk mendukung tujuan politik dan ekonomi mereka. Namun penggunaan yang berlebihan justru dapat berdampak negatif bagi bisnis, konsumen, serta perekonomian secara umum. Indonesia merupakan salah satu negara yang paling banyak menggunakan hambatan ini, terutama di sektor pangan dan hasil pertanian. Hal ini berakibat pada tingginya harga pangan sehingga membebani konsumen, menggerogoti daya saing ekspor serta membahayakan ketahanan pangan nasional," kata Felippa Ann Amanta dalam acara diskusi yang digelar CIPS secara daring, Kamis (17/6/2021).
Menurut Felippa, industri mamin sangat terintegrasi dalam perdagangan global, baik untuk sumber bahan bakunya maupun untuk mengekspor produknya. NTM sendiri dapat memengaruhi perusahaan dan industri dalam dua cara, yaitu meningkatkan biaya input atau dengan menerapkan langkah-langkah saat mengekspor ke negara lain. Mereka membebankan biaya tambahan untuk bisnis melalui biaya penegakkan, biaya sumber, dan biaya adaptasi proses, demikian temuan penelitian CIPS.
Di sisi input, lanjut Felippa, industri mamin masih mengimpor bahan baku karena produksi komoditas dalam negeri seringkali tidak mencukupi kuantitas dan kualitas untuk diproses. Misalnya gandum, bahan utama mi instan, hampir 100% bersumber dari impor karena belum bisa ditanam secara optimal di Indonesia. Meski Indonesia termasuk dalam lima besar produsen cokelat dunia, produsen cokelat di Indonesia juga harus mengandalkan biji kakao impor karena rendahnya kualitas biji kakao Indonesia.
“Terlepas dari kelangkaan bahan baku untuk keperluan industri, perusahaan juga harus melalui proses perizinan impor yang rumit dan menunggu pelepasan kuota impor oleh kementerian terkait, termasuk Kementerian Perindustrian. Banyak NTM yang dikenakan pada bahan pangan dan pertanian untuk keperluan industri, seperti dalam kasus gula, dimaksudkan untuk mendorong keterkaitan ke belakang dengan ekonomi dalam negeri, untuk memprioritaskan produksi dalam negeri, dan untuk meningkatkan nilai tambah dalam negeri. Namun dampaknya seringkali tidak efektif,” jelas Felippa.
CIPS merekomendasikan tiga hal untuk meminimalkan dampak NTM. Kementerian Perdagangan sebaiknya melakukan peninjauan kembali atau evaluasi yang menyeluruh atas NTM yang ada dengan mengidentifikasi keuntungan atau kerugian tiap NTM, serta menghapus hambatan yang memiliki biaya tinggi.
Bersama dengan Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan juga sebaiknya mempertimbangkan penguatan infrastruktur serta sistem untuk menekan biaya kepatuhan. Terakhir, Kementerian Perdagangan sebaiknya menggantikan sistem kuota impor dengan sistem perizinan impor otomatis yang dapat mendorong transparansi, kepastian, dan kemudahan perdagangan.
Saksikan live streaming program-program BeritaSatu TV di sini
Sumber: BeritaSatu.com