Jakarta, Beritasatu.com- Serikat Pekerja (SP) PLN Group menolak holdingisasi terhadap Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) dan Pembangkit Listrik Tenaga Uang (PLTU), serta upaya privatisasi (initial public offring/IPO) usaha ketenagalistrikan yang saat ini dimiliki PT PLN (Persero) dan anak usahanya. Upaya penolakan ini mendapat dukungan dari Public Services International (PSI), federasi serikat global yang beranggotakan 700 serikat pekerja yang mewakili 30 juta pekerja di 154 negara. Holdingisasi dan privatisasi PLN dinilai bertentangan dengan konstitusi dan berpotensi merugikan rakyat dan pekerja PLN sendiri.
Sekjen PSI Rosa Pavanelli mendukung langkah yang ditempuh SP PLN dan anak perusahaan. "Kami (PSI) dan afiliasi kami di bidang energi di Indonesia yaitu Serikat Pekerja PT PLN Persero (SP PLN Persero), Persatuan Pegawai PT Indonesia Power (PP IP), dan Serikat Pekerja PT Pembangkitan Jawa Bali (SP PJB), menolak upaya privatisasi, melalui penggabungan beberapa Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan anak perusahaannya menjadi holding perusahaan," kata dia dalam siaran pers bersama, Kamis (16/9/2021).
Sebelumnya Kementerian BUMN berencana membentuk holding company untuk pembangkit panas bumi (PLTP) dan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Setelah membentuk induk perusahaan yang terpisah, aset dan saham tersebut akan dijual melalui penawaran umum perdana (IPO).
Rosa menilai bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) Indonesia yang memutuskan segala upaya memprivatisasi listrik dalam bentuk apapun, adalah inkonstitusional. "Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa ketenagalistrikan merupakan sektor produksi yang penting bagi negara dan mempengaruhi hajat hidup orang banyak," ucapnya.
Sebagaimana diamanatkan Pasal 33 ayat (2) UUD 1945, menurut Rosa, listrik harus berada di bawah kekuasaan negara (putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 001-021-022/PUU-I/2003, tentang Uji Coba UU No. 20 Tahun 2004 tentang Ketenagalistrikan halaman 334, dan Putusan Nomor 111/PUU-XIII/2015 tentang Uji Coba Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, halaman 103).
"Listrik merupakan kebutuhan, kepentingan strategis bagi negara dan berdampak pada kehidupan seluruh rakyat Indonesia. Pemerintah harus menjaga kepemilikan dan bekerja untuk memastikan akses universal dan transisi yang adil dan merata ke generasi rendah karbon," papar Rosa.
Lebih lanjut dia mengatakan bahwa privatisasi layanan energi tidak akan memungkinkan akses universal atau memungkinkan transisi mendesak ke generasi rendah karbon. "Ini seperti yang disyaratkan dalam Kesepakatan Iklim Paris Indonesia berjanji mengurangi emisi rumah kaca sebanyak 29% pada tahun 2030 dengan meningkatkan penggunaan energi terbarukan hingga 23% dari total konsumsi nasional pada tahun 2025," katanya.
Saksikan live streaming program-program BeritaSatu TV di sini
Sumber: Investor Daily