Jakarta, Beritasatu.com- Pemerintah batal menurunkan tarif pajak penghasilan (PPh) Badan pada 2022 menjadi 20% sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020. Dengan demikian, tarif pajak korporasi pada 2022 tetap sebesar 22%. Keputusan ini tertuang dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang telah disahkan menjadi Undang Undang melalui rapat paripurna DPR Kamis (7/10/2021).
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengatakan alasan pemerintah tidak menurunkan tarif PPh badan karena sejalan dengan tren perpajakan global yang mulai menaikkan penerimaan dari PPh. Selain itu, sejalan dengan tren pemulihan ekonomi pascapandemi. Meski begitu, ia menegaskan bahwa besaran tarif PPh badan 22% di tahun depan dipastikan tetap dapat menjaga iklim investasi. “Tetap dapat menjaga iklim investasi, maka taraf PPh badan tetap akan sebesar 22% untuk tahun pajak 2022 dan seterusnya,” ujarnya Yasonna saat Rapat Paripurna, Kamis (7/10).
Menurutnya, tarif PPh badan di Indonesia lebih rendah dibandingkan PPh badan rata-rata negara ASEAN sebesar 22,17%, negara-negara OECD 22,81%, negara-negara Amerika sebesar 27,16%, dan negara G-20 sebesar 24,17%.
Dia mengatakan RUU HPP akan memberikan payung hukum untuk penerapan pencegahan penggerusan basis pemajakan dan penggeseran laba (GloBE) bagi perusahaan multinasional. “Sebagai implementasi kesepakatan perpajakan internasional dalam rangka mencegah dan mengatasi base erotion and profit shifting (BEPS),” tuturnya.
Sebelumnya Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet mengatakan aspek yang akan menjadi perhatian investor untuk berinvestasi di suatu negara tidak hanya melalui insentif pajak, tetapi ada pertimbangan lain seperti stabilitas perekonomian, kepastian hukum dan politik, ketersediaan infrastruktur, hingga ketersediaan industri. “Bahkan jika spesifik bicara insentif pajak, selain PPh badan, insentif bisa diberikan melalui tax holiday dan tax allowances,” tuturnya saat dihubungi Investor Daily.
Oleh karena itu, dengan ditunda penurunan pajak untuk PPh badan tidak kemudian akan mengurangi minat investor untuk berinvestasi. Adapun minat investor akan dipengaruhi faktor lain seperti prospek pemulihan ekonomi setelah Covid-19, stabilitas politik dan hukum, dan dinamika politik regional.
Ia menjelaskan bahwa sebelum Covid-19 tren investasi di dalam negeri juga sebenarnya tidak terlalu jelek, meskipun saat itu tarif PPh badan masih berkisar 25%. “Artinya daya saing kita jika dibandingkan negara-negara lain tidak kalah, hanya memang perhatian khusus diberikan kepada investasi di sektor sekunder dalam hal ini industri manufaktur, yang sebelum Covid-19, kecenderungannya melambat,” tuturnya.
Sementara terkait berbagai negara yang berlomba untuk menurunkan tarif pajak ke level yang lebih rendah atau race to bottom dinilainya harus menjadi perhatian pemerintah dan hati-hari. Pasalnya pemerintah saat ini ikut dalam kampanye pajak global BEPS. “Hal ini akan merugikan negara miskin dan berkembang. Menyeimbangkan kebutuhan pemberian insentif pajak dan ikut aktif dalam kampanye pajak global di atas, akan menjadi tantangan tersendiri”ujarnya.
Ada Konsekuensi Batalnya Tarif PPh Badan 20%
Sementara Ekonom Chelios, Bhima Yudhistira mengatakan bahwa keputusan pemerintah yang batal menurunkan tarif PPh badan menjadi 20% di tahun 2022 disebabkan pemerintah mulai menyadari bahwa perusahaan telah banyak mendapatkan keringanan pajak, khsusunya selama masa pandemi Covid-19, dari diskon PPN, pajak penjualan barang mewah (PPnBM) dan fasilitas pajak lainnya.
Ia mencatat, sebelum pandemi, pemerintah sudah agresif mengobral insentif pajak dalam 16 paket kebijakan seperti tax holiday, tax allowances. “Obral insentif pajak pada akhirnya menurunkan rasio pajak dan ini disadari terlambat,” tuturnya.
Meski begitu, Bhima menilai akan ada konsekuensi perubahan regulasi soal tarif PPh badan. “Problemnya, ketidakpastian regulasi perpajakan yang tinggi akan menurunkan kepercayaan dari pelaku usaha. Ketidakpastian dalam kebijakan pemerintah dan arah kebijakan dalam jangka panjang masuk dalam komponen penilaian indeks daya saing global,” tuturnya.
Dia menyebut seharusnya pada saat desain kebijakan pajak PPh diturunkan hingga level 20%, pemerintah sudah memikirkan matang-matang. Apalagi pemerintah sudah promosi ke berbagai pihak bahwa tarif PPh akan diturunkan sebagai bentuk dukungan terhadap investasi.
“Dengan tarif yang berkisar 22% maka pemerintah perlu cari jalan lain dengan fokus pada peningkatan komponen daya saing seperti pemberantasan korupsi, adanya sinkronisasi kebijakan pusat daerah pasca-UU Cipta Kerja, sampai integrasi dengan rantai pasok global. Pajak bukan satu-satunya faktor untuk menarik investasi, tapi dengan ketidakpastian regulasi perpajakan justru mengirim sinyal negatif ke pelaku usaha dan investor global,” tegasnya.
Saksikan live streaming program-program BeritaSatu TV di sini
Sumber: Investor Daily