Jakarta, Beritasatu.com - Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda menuturkan, kebijakan larangan ekspor minyak goreng dan bahan baku minyak goreng atau crude palm oil (CPO) di satu sisi memperlihatkan dukungan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan minyak goreng di dalam negeri. Namun di sisi lain, pelarangan ekspor ini juga memberi dampak negatif yang besar.
"Apakah kebijakan larangan ekspo minyak goreng ini menyelesaikan masalah? Saya rasa belum tentu. Produsen atau distributor belum tentu akan menggelontorkan barangnya ke pasar domestik. Mereka tentu saja menginginkan harga yang lebih tinggi, sehingga bisa saja mereka akan menahan stok-nya untuk dikeluarkan ke pasaran, hanya sedikit-sedikit saja yang dikeluarkan” kata Nailul Huda kepada Beritasatu.com, Sabtu (23/4/2022).
Pelarangan ekspor minyak goreng ini juga bisa membuat neraca perdagangan Indonesia kembali mengalami defisit. Pasalnya, CPO merupakan salah satu komoditas unggulan Indonesia di pasar ekspor. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (Gapki) mencatat, nilai ekspor minyak sawit pada Januari 2022 mencapai US$ 2,81 miliar, sementara di Februari 202 mencapai US$ 2,79 miliar.
“Dari sisi ekspor, kita bisa rugi cukup besar. CPO ini kan jadi komoditas unggulan ekspor kita, jadi bisa berbahaya ke neraca perdagangan kita kalau ekspor dilarang,” kata Huda.
Sebagai salah satu eksportir utama CPO di dunia, Huda menyebut kebijakan pelarangan ekspor minyak goreng ini juga bisa membuat harga di pasar dunia semakin tinggi akibat berkurangnya pasokan dari Indonesia. Kondisi ini akan menguntungkan negara pesaing Indonesia, dan juga berpotensi menimbulkan perdagangan ilegal.
"Ketika harga di luar tinggi, sementara produsen di dalam negeri punya barangnya, saya rasa perdagangan ilegalnya malah bisa meningkat. Ini juga harus diantisipasi,” kata Huda.
Halaman: 12selengkapnya
Saksikan live streaming program-program BeritaSatu TV di sini
Sumber: BeritaSatu.com