Bank Digital Andalkan Nasabah Ritel dan Pasar Mikro
Jakarta, Beritasatu.com - Bank digital lebih mengandalkan dari nasabah ritel atau kredit konsumer serta pasar mikro pasar mikro dan generasi milenial. Seperti diketahui, selama lima tahun terakhir setidaknya sebanyak 18 bank kini sebagian atau mayoritas sahamnya telah berpindah tangan ke entitas finansial besar, baik itu bank asing, bank domestik bermodal kakap, hingga perusahaan financial technology. Langkah akuisisi ini sebagian diikuti oleh langkah konversi bank kecil yang telah dicaplok tadi menjadi bank digital.
Setidaknya dari 18 bank yang telah berubah komposisi kepemilikan sahamnya tadi, sembilan bank di antaranya telah mengumumkan konversi menjadi bank digital. Satu bank di antara mereka, yakni Bank Raya, merupakan konversi dari PT Bank BRI Agro Niaga dengan kepemilikan masih tetap di bawah bendera PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI).
Langkah konversi yang telah menjadi tren pada bank-bank tersebut menurut Head of Research Samuel Sekuritas, Suria Dharma merupakan dampak dari perubahan perilaku nasabah yang mulai beralih ke transaksi online atau cashless transaction pascapandemi Covid-19.
“Bank-bank kecil yang telah bertransformasi menjadi bank digital ini tentunya akan bermodalkan ekosistem yang akan membuat sejumlah komponen biaya bisa diefisiensikan. Transformasi digital pada bank besar pun demikian, digitalisasi akan berpengaruh pada efisiensi biaya, misalnya transaksi yang menggunakan ATM akan berkurang karena nasabah lebih banyak menggunakan transaksi secara online,” ujar Suria Dharma dalam talkshow bertema “Apa Kabar Perbankan Digital Indonesia ” yang disiarkan Beritasatu TV, Kamis (2/6/2022).
Namun demikian ke depan akan terbentuk segmentasi pada bank fully digital dengan bank konvensional yang telah melengkapi diri dengan digitalisasi. Bank digital, kata Suria, akan fokus pada nasabah-nasabah ritel atau kredit konsumer serta pasar mikro. Sementara pasar whole sale atau korporat masih akan dipegang oleh bank konvensional. “Pasar korporat tentu tak semudah bisa dilayani secara online semata, mereka masih membutuhkan layanan tatap muka,” ujarnya.
Sejumlah tantangan juga masih harus dihadapi oleh bank fully digital seperti besaran dana pihak ketiga yang belum bisa disamakan pertumbuhannya dengan bank konvensional. Pasalnya sejumlah kelompok masyarakat masih mengandalkan kepercayaannya pada bank dengan bentuk layanan fisik bank tersebut. Semisal masih ingin dilayani secara tatap muka di kantor cabang bank. “Masih ada nasabah yang melihat fisik bank untuk mempercayakan pengelolaan dananya pada bank. Sehingga bisa dipahami volume DPK bank digital masih relatif kecil pertumbuhannya dibanding bank konvensional,” kata Suria.
Tantangan lainnya yang masih harud dihadapi oleh bank digital adalah peliknya proses edukasi kepada calon user yang berada di kawasan pelosok. Ini juga terkait dengan infrastruktur jaringan internet yang tingkat reliabilitasnya relatif berbeda di tiap daerah. Proses edukasi pada calon user atau nasabah ini tentunya tak akan mengalami hambatan di kota-kota besar dengan jaringan infrasturktur internet yang telah terbangun dengan baik.
Sementara itu bagi para investor di pasar modal, yang sempat keranjingan dengan saham-saham bank kecil yang sempat diasosiasikan sebagai calon bank digital, saat ini telah terbentuk persepsi baru terkait emiten bank digital. Awalnya, para investor mengasosiasikan bank-bank kecil tersebut seperti perusahaan teknologi yang diharapkan akan memiliki pertumbuhan tinggi.
“Sekarang investor mulai menelisik seberapa besar pertumbuhan jumlah user pada bank digital, berapa besar pertumbuhan jumlah DPK. Jadi sekarang mulai terlihat adanya perubahan persepsi soal bank digital, dan para investor mulai melihat-lihat emiten bank digital mana yang akan survive di masa depan,” paparnya.
Dalam kesempatan yang sama, Chairman Intellectual Business Community, Bayu Prawira Hie sepakat bahwa bank digital nantinya akan fokus pada pasar ritel. Sementara itu kehadiran anak usaha bank digital pada bank besar akan memudahkan tugas bank induk dalam perluasan pasar ke sektor ritel.
Bayu memproyeksikan, bank digital memiliki masa depan yang baik, karena pasar perbankan saat ini sejatinya sudah terbagi atas sejumlah kelompok, yang salah satunya adalah kelompok milenial yang sensitif terhadap harga, dan kerap ingin diasosiasikan sebagai kelompok modern yang juga menginginkan layanan modern pada transaksi finansialnya. Kelompok milenial inilah yang menjadi pasar utama bagi bank digital.
“Milenial yang kelak membentuk korporasi-korporasi baru inilah yang akan cocok dengan layanan pada bank digital,” ujar Bayu.
Dalam waktu dekat, kata Bayu, pihaknya bersama Majalah Investor dan Beritasatu Media Holding akan menggelar Best Digital Bank Award, yang akan memberikan semacam edukasi dan acuan bagi publik untuk menilai bank digital mana yang layak dikategorikan sebagai bank digital dengan kinerja terbaik.
Menurut Bayu yang nantinya akan menjadi salah satu juri bersama Suria Dharma mengatakan, sejumlah parameter yang akan dijadikan indikator penilaian akan sama dengan yang dijadikan acuan oleh Otoritas Jasa Keuangan perihal bank digital.
“Ada enam unsur yang akan menjadi indikator penilaian, yakni data, teknologi, manajemen risiko, kolaborasi, institusi dan costumer. Selain itu akan ada self assesment yang akan dibuat oleh para bankir terkait kinerja bank digital yang mereka kelola. Tentunya self assesment ini akan diikuti oleh pembuktian (fact finding) oleh tim juri,” ujar Bayu.
Sementara itu Suria Dharma mengatakan, self assesment ini tentunya harus sesuai dengan persepsi nasabah. “Semua bank tentu akan punya kelebihan masing-masing, tapi hal ini tentu belum tentu persepsinya benar di mata nasabah,” kata Suria.
Namun demikian ajang pemberian penghargaan bagi bank digital ini diharapkan akan mendorong para bank digital melakukan percepatan transformasi digitalnya, plus meningkatkan pelayanannya kepada para nasabah.
Sumber: Investor Daily
Saksikan live streaming program-program BTV di sini
Bagikan