Minyak Goreng Langka dan Mahal, Salah Siapa?
Jumat, 18 Februari 2022
Minyak Goreng Selangit di Lumbung Sawit
Jumat, 18 Februari 2022 | 08:57 WIB
Jakarta, Beritasatu.com - Tahun 2021 ditutup dengan melonjaknya harga minyak goreng di pasaran. Para pelaku pasar, mulai distributor, peritel modern, pelaku pasar tradisional, pedagang eceran, hingga konsumen, terutama pedagang kecil penjual makanan, dihantui harga jual minyak goreng yang tinggi. Mereka menjerit atas kenaikan harga komoditas tersebut.
Sungguh ironi, Indonesia yang merupakan lumbung sawit, sehingga menjadi penghasil terbesar crude palm oil (CPO) di dunia masih dihadapkan pada persoalan kelangkaan minyak goreng. Alhasil, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengendus ada indikasi terjadinya praktik kartel di balik lonjakan harga minyak goreng tersebut.
Untuk merespons kenaikan harga minyak goreng, pada awal Januari 2022, pemerintah membuat kebijakan dengan menetapkan kebijakan subsidi minyak goreng. Namun, kebijakan ini malah membuat stok minyak goreng di pasaran semakin terbatas, bahkan langka. Pemerintah kemudian menerapkan kebijakan domestic market obligation (DMO) dan domestic price obligation (DPO) per 1 Februari 2022.
Dalam kebijakan DMO, perusahaan minyak goreng wajib memasok minyak goreng sebesar 20% dari volume ekspor mereka. Kemudian dalam kebijakan DPO, pemerintah menetapkan harga CPO Rp 9.300 per kilogram.
Selanjutnya dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 6 Tahun 2022 tentang Penetapan Harga Eceran Tertinggi (HET) Minyak Goreng Sawit juga dicantumkan HET minyak goreng curah Rp 11.500 per liter, minyak goreng kemasan sederhana Rp 13.500 per liter, dan minyak goreng kemasan premium Rp 14.000 per liter. Namun, HET tidak bisa sepenuhnya berjalan di lapangan lantaran langkanya minyak goreng.
Penyebab Kenaikan Harga CPO
Dari kajian yang dilakukan Institute for Development of Economics and Finance (Indef), ada beberapa faktor yang memengaruhi kenaikan harga minyak goreng. Salah satunya adalah harga CPO dunia yang sedang meningkat. Selama 2021, harga CPO mengalami kenaikan hingga 36,30% (year on year).
Peneliti Indef Rusli Abdullah memaparkan setidaknya terdapat empat faktor utama yang memicu kenaikan harga CPO. Pertama, terjadinya penurunan produksi CPO di negara produsen akibat Covid-19 serta gangguan cuaca. Misalnya, produksi CPO Indonesia pada 2021 sebesar 46,88 juta ton atau turun 0,31% dibandingkan produksi 2020 sebesar 47,03 juta ton.
Kedua, permintaan CPO mengalami kenaikan di pasar domestik maupun pasar ekspor. Untuk permintaan minyak sawit di dalam negeri saja terjadi kenaikan 6% dari 17,34 juta ton pada 2020 menjadi 18,42 juta ton pada 2021.
Faktor ketiga yang turut memicu kenaikan harga CPO adalah kenaikan harga komoditas energi, seperti minyak mentah, gas, dan batu bara. Semakin mahalnya harga komoditas energi tersebut mendorong terjadinya substitusi energi fosil dengan menggunakan sumber energi yang berasal dari biofuel.
Faktor keempat, terjadinya gejala commodity supercycle di masa pandemi Covid-19 saat ini melahirkan fenomena spekulasi di pasar komoditas, termasuk pada pasar CPO. Masifnya stimulus fiskal yang digelontorkan berbagai negara dunia selama masa pandemi menyebabkan bertambahnya uang beredar, sehingga memicu inflasi.
Terkait respons pemerintah melalui kebijakan subsidi minyak goreng, Rusli melihat kebijakan tersebut tidak efektif lantaran tidak tepat sasaran dan infrastruktur yang juga tidak siap.
“Konsumsi minyak goreng rumah tangga kita itu 61% minyak curah, tetapi kebijakan yang dilakukan adalah subsidi pada minyak kemasan. Artinya kebijakan yang diambil tidak nyambung,” kata Rusli Abdullah saat dihubungi Beritasatu.com, Rabu (16/2/2022).
Ketidakefektifan kebijakan subsidi minyak goreng kemudian diganti pemerintah dengan kebijakan DMO dan DPO yang berlaku per 1 Februari 2022. Namun, Rusli melihat masih terjadi kelangkaan minyak goreng, baik di pasar tradisional maupun ritel modern. Kalaupun tersedia, harganya masih di atas HET.
“Sampai saat ini harga minyak goreng belum turun juga dan langka di beberapa daerah. Kenapa? Berarti ada problem di hulunya ketika interaksi antara PKS (pabrik kelapa sawit, Red), pemilik kebun kelapa sawit dengan perusahaan minyak goreng. Karena kan ada juga perusahaan minyak goreng yang tidak memiliki kebun kelapa sawit, tetapi dia membeli CPO dari PKS. Masalahnya, PKS kan tidak memiliki kewajiban untuk DMO, kalau dia tidak ekspor. Banyak PKS yang meng-hold ekspornya, sehingga dia tidak wajib DMO,” ungkap Rusli.
Pandangan lain tentang penyebab kelangkaan minyak goreng disampaikan ekonom Faisal Basri. Dia melihat adanya pergeseran konsumsi CPO di dalam negeri. Konsumsi CPO bergeser dari industri pangan menjadi industri biodiesel. Kondisi ini terjadi sejak pemerintah menerapkan program B-20 pada 2020. Program ini mewajibkan pencampuran 20% biodiesel dengan bahan bakar minyak jenis solar.
Adanya program ini membuat alokasi CPO untuk biodiesel berangsur naik, dari 5,83 juta ton pada 2019 menjadi 7,23 juta ton pada 2020. Sebaliknya, konsumsi CPO untuk industri pangan turun dari 9,86 juta ton pada 2019 menjadi 8,42 juta ton pada 2020. Pola kenaikan porsi biodiesel diprediksi akan berlanjut seiring dengan peningkatan porsi CPO dalam biodiesel melalui program B-30 (mengandung biodiesel 30%).
Kebijakan pemerintah yang mendorong program biodiesel ini menjadi trade off atau mengorbankan suatu aspek untuk memperoleh aspek lain bagi CPO industri pangan. Adanya jaminan pemerintah bahwa perusahaan biodiesel tidak akan merugi melalui subsidi ketika harga di dalam negeri lebih rendah dibanding harga internasional membuat pengusaha lebih cenderung menyalurkan CPO-nya pada biodiesel. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) memproyeksikan porsi CPO untuk biodiesel mencapai 43% dari konsumsi CPO dalam negeri pada 2022.
Dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi VI DPR, Ketua Umum Gapki Joko Supriyono mengungkapkan bahwa harga CPO global mengalami kenaikan terus-menerus, sehingga memengaruhi harga minyak goreng dalam negeri. Di sisi lain, harga minyak nabati lainnya juga mengalami kenaikan.
“Memang tidak bisa dimungkiri bahwa harga CPO-nya naik terus dan itu juga karena harga minyak nabati lain naik. Minyak kedelai juga naik, minyak bunga matahari juga naik. Jadi tidak hanya minyak goreng sawit yang naik,” ungkap Joko.
Pasokan
Terkait masih langkanya minyak goreng di pasaran, Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag) Oke Nurwan menyebut kondisi yang terjadi bukan kelangkaan minyak goreng, melainkan kelangkaan minyak goreng dengan harga terjangkau. Kemendag pun terus melakukan berbagai langkah untuk memastikan agar masyarakat tidak lagi kesulitan memperoleh minyak goreng dengan harga terjangkau.
“Saya sudah kawal terus sampai saat ini, bahkan selama weekend sudah dipasok sekitar 27 juta liter secara nasional. Mungkin untuk wilayah timur agak terlambat, dan hari ini (15 Februari 2022) pun, sudah kita jalankan lagi sekitar 23 juta liter,” kata Oke dalam dialog bertajuk “Indikasi Kebocoran Ekspor Minyak Goreng”, Selasa (15/2/2022).
Oke mengungkapka kebutuhan minyak goreng untuk masyarakat sekitar 9-10 juta liter minyak goreng per hari. Namun, karena saat ini kebutuhan masyarakat sedang meningkat, Kemendag menaikkan pasokan dari biasanya.
"Jadi sekarang pasokan kita double capacity-nya,” imbuhnya.
Karena ada isu kelangkaan minyak goreng, lanjutnya, Kemendag untuk sementara juga tidak mengeluarkan izin untuk ekspor CPO.
“Jadi kemarin yang mengusulkan ada 190 persetujuan ekspor, bahkan mungkin sudah bertambah lagi. Itu sampai sekarang belum ada yang kita keluarkan (izinnya, Red), sebelum kita bisa memastikan mereka memasok ke dalam negeri dan membanjiri kebutuhan minyak goreng nasional," ungkapnya.
BACA JUGA
Pedagang pun Berutang Minyak GorengDiakui Oke, kenaikan harga CPO di satu sisi menjadi berkah bagi kinerja ekspor Indonesia. Namun, di sisi lain hal ini mengganggu harga minyak goreng. Pemerintah melalui Kemendag mengakui selama ini ada kesalahan kebijakan yang menyebabkan harga minyak goreng melonjak. Pasalnya, selama ini harga minyak goreng bergantung pada harga CPO internasional.
Karenanya, penyebab utama kenaikan harga minyak yang harus diperbaiki saat ini adalah melepaskan minyak goreng domestik dari ketergantungan pada harga CPO internasional. Melalui implementasi DMO dan DPO, harapannya kebijakan ini dapat memberikan jaminan stok bahan baku minyak goreng di dalam negeri, sehingga harga minyak goreng lebih terjangkau oleh masyarakat luas.
“Pada dasarnya kenaikan harga CPO internasional di satu sisi berkah, tetapi tidak berkah bagi harga minyak goreng, dan sekarang sudah dilepaskan dari ketergantungan harga CPO internasional. Untuk masyarakat, saya harapkan bersabar, pasti tersalurkan. Jangan panic buying seolah-olah minyak goreng akan tidak ada. Itu enggak mungkin. Kita produsen sawit terbesar, minyak goreng untuk kepentingan rakyat akan kita dahulukan,” tegas Oke.
Harga di Malaysia
Terkait harga minyak goreng di Malaysia yang dipatok 2,5 ringgit atau setara Rp 8.500 per liter, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi dalam rapat kerja dengan Komisi VI DPR menjelaskan bahwa harga tersebut merupakan harga setelah diberikan subsidi oleh pemerintah.
“Di Malaysia itu sejak 2016 ada satu kebijakan dan ini memang biasa di Malaysia. Mereka memberikan subsidi langsung ke masyarakat. Mereka menyubsidi sekitar 60.000 kilogram atau 60 juta liter per bulan untuk diberikan langsung dengan harga 2,5 ringgit. Itu subsidi, pemerintahnya yang menyubsidi," kata Lutfi.
Muhammad Lutfi. (B1/Herman)
Untuk harga minyak goreng nonsubsidi di Malaysia berkisar 6,7 ringgit atau sekitar Rp 20.000 per liter dan Rp 22.000 per kilogram.
"Artinya lebih mahal daripada minyak di Indonesia," kata Lutfi.
Lutfi menjelaskan harga minyak goreng yang lebih mahal di Malaysia tidak lepas dari harga CPO yang juga lebih tinggi daripada di Indonesia.
"Sekarang kalau harga internasional US$ 1.340 per ton, mereka ada pajak ekspor US$ 100 per ton. Jadi penyerahan CPO di Malaysia itu harganya US$ 1.240 per ton, di tempat kita kira-kira US$ 1.040 per ton, makanya mereka lebih mahal," terang Lutfi.
Belum Optimal
Sementara itu, Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga menyatakan kebijakan DMO dan DPO saat ini sudah mulai berjalan, tetapi belum optimal, sehingga masih terjadi kelangkaan minyak goreng di pasaran. Dari analisis GIMNI, banyak eksportir sawit ternyata tidak pernah memasok bahan baku untuk kebutuhan minyak goreng di dalam negeri, sehingga membutuhkan waktu untuk mencari pelaku usaha domestik.
“Banyak produsen atau eksportir sawit tidak berbisnis di minyak goreng, sehingga tidak tahu bagaimana menjalankannya, mencari pasar. Ini butuh waktu,” ungkap Sahat saat dihubungi Beritasatu.com, Kamis (17/2/2022).
Alasan berikutnya, banyak produsen minyak goreng di dalam negeri yang tidak memiliki kebun sawit dan mereka kesulitan mendapatkan bahan baku. Eksportir sawit umumnya juga berada di Sumatera dan Kalimantan, sedangkan pasar terbesar minyak goreng ada di Pulau Jawa, sehingga menimbulkan masalah distribusi.
Kondisi tersebut diperparah dengan adanya dugaan kecurangan di hilir. “Begitu barang masuk, langsung diborong, kemudian disimpan dan dijual ke tempat lain. Ini yang perlu dikontrol juga,” tegas Sahat.
Anggota Komisi VI DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional, Intan Fauzi menyampaikan selain stabilitas harga, yang terpenting saat ini adalah pasokan atau ketersediaan minyak goreng di pasar, baik pasar tradisional maupun ritel modern. Ia juga berharap produsen kelapa sawit dapat mematuhi ketentuan DMO dari pemerintah, mengingat Indonesia merupakan produsen CPO terbesar dunia.
“Kebijakan DMO yang mewajibkan produsen CPO memenuhi 20% untuk kebutuhan dalam negeri seharusnya bukan masalah,” kata Intan.
Sementara itu menurut Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi, kendati kebijakan DMO dan DPO sudah benar, tetapi dalam praktik patut diwaspadai, serta perlu konsistensi dan pengawasan ketat oleh pemerintah.
“DMO dan DPO ini akan efektif jika diikuti dengan kepatuhan para pelaku usaha CPO. Oleh karenanya, jika terjadi pelanggaran harus ada sanksi tegas dan keras kepada pelaku usaha. Misalnya, pemerintah bisa mencabut izin usahanya, dan atau melakukan larangan ekspor CPO ke luar negeri,” kata Tulus.
Agar permasalahan ini tidak menjadi bom waktu, Tulus meminta pemerintah membereskan persoalan tata niaga CPO dan minyak goreng dari hulu hingga hilir. Apalagi persoalan gonjang ganjing minyak goreng bukan kali ini saja, tetapi sudah beberapa kali terjadi.
Pedagang pun Berutang Minyak Goreng
Jumat, 18 Februari 2022 | 08:45 WIB
Tangerang, Beritasatu.com - Kelangkaan dan harga mahal minyak goreng di pasar tradisional serta ritel modern menambah beban hidup masyarakat di tengah pandemi Covid-19. Berbagai cara ditempuh masyarakat, khususnya dari kalangan ekonomi menengah ke bawah, agar tetap bisa "menikmati" goreng untuk kebutuhan rumah tangga dan berniaga.
Seorang pedagang gorengan di Kota Tangerang terpaksa berutang minyak goreng agar bisa melanjutkan usahanya. Ibu Jerry yang biasa memasok gorengan ke beberapa warung di wilayah TMP Taruna mengakui hal tersebut kepada Beritasatu.com, Kamis (17/2/2022).
"Minyak goreng di Tangerang sebenarnya langka enggak langka, tetapi harus sabar nyari-nya dan harganya juga masih tinggi. Saya biasanya dipasok, tetapi berutang dahulu karena harga jualnya Rp 18.000-an. Kalau (gorengan, Red) sudah laku, baru dibayar," katanya.
Ibu Jerry mengaku meski harga minyak goreng kini melambung, dirinya tak menaikkan harga jual gorengan.
"Enggak apa untungnya sedikit, yang penting lancar. Kalau naikin harga, nanti enggak ada yang mau beli. Ya pasrah saja meski keuntungannya tipis," ujarnya.
Dalam satu hari, dia membutuhkan 3-4 liter minyak goreng untuk memproduksi gorengan yang dijualnya di beberapa warung. Sebagai pemasok gorengan, minyak goreng merupakan kebutuhan utama, sehingga kondisi saat ini memberatkannya.
"Saya sih belum pernah dapat minyak goreng dengan harga seperti yang diungkapkan pemerintah. Harga paling murah, ya Rp 17.000-an untuk satu liter. Sebagai pedagang gorengan, kita berharap minyak goreng tidak langka lagi dan harganya pun lebih murah," kata Ibu Jerry.
Mak Hajah--pedagang bakwan, tahu isi, dan tempe goreng--terpaksa menaikkan harga dagangannya Rp 250 per biji setelah harga minyak goreng melonjak belakangan ini. Sebelumnya, Mak Hajah menjual dagangannya Rp 1.000, tetapi sekarang menjadi Rp 1.250 per biji.
"Kalau Rp 5.000 sekarang dapat empat gorengan. Harga naik, tetapi ukurannya tetap," ujarnya.
Pedagang gorengan di Jakarta juga mengeluhkan harga minyak goreng yang mahal dan susah diperoleh. Sutara (70), pedagang gorengan di Stasiun Gondangdia, Jakarta Pusat, mengatakan dirinya terpaksa membeli minyak goreng dengan harga mahal karena merupakan salah satu bahan penting untuk jualannya.
"Walaupun mahal, ya gimana saya tetap beli. Saya kan harus tetap jualan daripada menganggur," ujarnya kepada Beritasatu.com, Kamis (17/2/2022).
Dia juga mengaku susah menemukan minyak goreng di pasar tradisional maupun di ritel modern. "Sering kosong, harganya juga enggak kira-kira. Di ritel modern selalu ngantri dan kalaupun dapat cuma satu," keluhnya.
Ilustrasi warga mengantre minyak goreng. (B1/Emral Firdiansyah)
Setiap hari, Sutara membutuhkan sekitar 7-8 kilogram minyak goreng. Jika pembeli ramai, minyak goreng yang dibutuhkan bisa mencapai 10-12 kilogram.
Hal yang sama juga dirasakan Sarmunah (40), pengelola warung tegal. Dia mengeluh mahalnya harga minyak goreng di pasar. Harga jual minyak goreng kemasan di pasar mencapai Rp 38.000 per 2 liter, sedangkan minyak goreng curah Rp 18.000 per liter.
Sehari-hari, Sarmunah menghabiskan 3 kilogram minyak goreng untuk kebutuhan jualannya. Untuk mengatasinya, dia terpaksa mengurangi jumlah makanan yang dijual.
"Sejak pandemi, pembeli sepi, apalagi sekarang PPKM. Saat sepi, harga minyak juga mahal. Semoga nanti harganya kembali normal di pasar," ujarnya.
Rebusan
Seorang ibu rumah tangga di Tangerang, Widiastuti, mengaku kini lebih banyak menyajikan menu rebusan bagi keluarga daripada yang digoreng.
"Saat ini di warung-warung, minyak goreng masih susah dicari. Kalaupun ada, harganya di atas Rp 18.000-an. Saya masak satu hari sekali dan menunya lebih banyak rebusan," ujarnya.
Sebagai ibu rumah tangga, Widiastuti berharap pemerintah bisa menurunkan harga minyak goreng dan mengatasi kelangkaannya.
"Pemerintah daerah hendaknya menggelar operasi pasar guna menyediakan kembali minyak goreng, apalagi kan mau masuk bulan puasa. Semoga harga minyak goreng enggak naik lagi," katanya.
Tak ada stok minyak goreng di warung. (B1/Chairul Fikri)
Kelangkaan minyak goreng juga terjadi di Kabupaten Bekasi dan Kota Bekasi. Ritel modern kekurangan stok minyak goreng. Akibatnya, saat minyak goreng tersedia, langsung diserbu pembeli dan ludes terjual. Pedagang di pasar tradisional juga tak lagi mendapat pasokan minyak goreng.
“Stok minyak goreng habis sejak tiga hari,” kata Edi, pedagang di Pasar Rawa Kalong, Tambun Selatan, Kamis (17/2/2022).
Pedagang lainnya masih tetap menjual minyak goreng kemasan dua liter dengan Rp 38.000. Mereka mengaku masih menjual stok lama yang dibeli dengan harga tinggi dari distributor.
Minyak Goreng Langka, Aprindo: Kami Tidak Menimbun
Jumat, 11 Februari 2022 | 11:33 WIB
Jakarta, Beritasatu.com – Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy N Mandey menegaskan, ritel modern para anggota Aprindo tidak menimbun minyak goreng, baik di gudang maupun di gerai. Pernyataan ini disampaikan Roy untuk mengklarifikasi adanya dugaan menimbun minyak goreng yang dilayangkan oleh seorang anggota lembaga pemerintah.
"Prinsip dasar operasional kami adalah produk yang dikirimkan dari produsen dan distributor ke gudang peritel, maka akan langsung kami distribusikan ke gerai-gerai dan langsung dijual kepada Konsumen. Bukan hanya minyak goreng, tapi semua dan berbagai produk yang ada di gerai juga seperti itu,” kata Roy dalam keterangan resminya, Jumat (11/2/2022).
Roy juga menjelaskan tidak ada urgensi atau kepentingan mengapa ritel modern harus menahan stok minyak goreng di gudang. Selain gudang peritel sangat terbatas karena berisikan berbagai macam barang, model bisnis ritel modern adalah pengecer (retailer) yang langsung menjual produk ke end user atau konsumen akhir, sehingga tidak akan mungkin menjual barang-barangnya kepada agen atau pihak lain lagi.
"Kami menyayangkan berita dan sangkaan bahwa ritel modern menghambat penyaluran minyak goreng kepada masyarakat, di saat kami mendukung sepenuhnya dan membantu pemerintah untuk mendistribusikan minyak goreng secara merata, terjangkau dan fair kepada masyarakat," tegas Roy.
Menurut Roy, kelangkaan minyak goreng lebih dikarenakan pasokan minyak goreng dari produsen dan distributor yang memang belum optimal, serta animo masyarakat untuk membeli minyak goreng lebih besar karena harga yang terjangkau.
"Perlu pula diinformasikan, bahwa tidak semua gerai yang berada di luar pasar tradisional/rakyat adalah ritel modern. Ada warung atau toko tradisional, toko agen, toko grosir dan seterusnya yang bukan format ritel modern dan yang bukan anggota ritel modern Aprindo,” jelas Roy.
Kemendag: Harga Minyak Goreng Menuju Stabil
Selasa, 8 Februari 2022 | 16:49 WIB
Jakarta, Beritasatu.com - Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag) Oke Nurwan mengatakan harga minyak goreng dalam proses stabilisasi karena ada kebijakan baru, yakni domestic mandatory obligation (DMO) dan domestic price obligation (DPO). Kebijakan baru tersebut akan memutus keterkaitan antara harga minyak goreng dengan harga crude palm oil (CPO) internasional.
Dalam acara "Dialog Pelayanan Publik Ombudsman" di Jakarta, Selasa (8/2/2022), Oke Nurwan menjelaskan selama ini produsen minyak goreng dalam negeri membeli CPO sebagai bahan baku minyak nabati dengan harga global. Pasalnya, masih sangat sedikit produsen minyak goreng yang memiliki lahan kebun kelapa sawit sendiri. Akibatnya, ketika harga minyak nabati dunia meningkat sejak tahun lalu, harga minyak sawit sebagai bahan baku minyak goreng pun melonjak.
Langkah pemerintah menetapkan harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng di dalam negeri Rp14.000 per liter, lanjut Oke, membuat para produsen CPO justru mengekspor hasil kebunnya ke luar negeri lantaran harga CPO global sedang tinggi daripada menjualnya sebagai minyak goreng di dalam negeri yang harganya dibatasi. Oleh karena itu, pemerintah menerapkan DMO, yaitu para eksportir CPO harus mengalokasikan 20% volume ekspornya untuk kebutuhan dalam negeri.
"Ini saya kira kewajiban yang harus dipatuhi oleh eksportir untuk memasok ke dalam negeri. Ini sudah mulai berjalan," kata Oke.
Untuk DPO, pemerintah menerapkan harga tertinggi CPO Rp 9.500 per kg atau dalam bentuk minyak Rp 10.300 per kg, sehingga harga minyak goreng paling tinggi di masyarakat bisa mencapai Rp 14.000 per liter.
Pada kesempatan itu, Oke memastikan pasokan CPO maupun minyak goreng nasional dalam kondisi aman. "Kalau ketersediaan itu tidak ada masalah, hanya harganya yang tidak terjangkau," katanya.
Minyak Goreng Langka, Pemprov DKI Selidiki Dugaan Kartel
Senin, 7 Februari 2022 | 16:25 WIB
Jakarta, Beritasatu.com - Wakil Gubernur DKI Jakarta, Ahmad Riza Patria menanggapi masalah minyak goreng yang langka di Jakarta.
Riza mengatakan, pihaknya bersama pemerintah pusat telah mengecek adanya isu kartel minyak goreng. Selain itu, sesuai instruksi pemerintah pusat, Pemprov DKI akan memastikan stok minyak goreng tetap tersedia di Jakarta, meski jumlahnya terbatas.
"Kami sudah atur harga patokan dan distribusinya. Pasti ada stok minyak goreng untuk masyarakat. Hanya saja kita minta masyarakat jangan menumpuk minyak goreng, beli sesuai dengan kebutuhan," kata Wagub Riza kepada wartawan, di Balai Kota DKI Jakarta, Senin (7/2/2022).
Sebelumnya, stok minyak goreng di retail modern seperti Indomaret dan Alfamart di Jabodetabek kosong.
Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dirtipideksus) Bareskrim Polri Brigjen Whisnu Hermawan dalam keterangan tertulis, Senin (7/2/2022), mengatakan hal tersebut disebabkan terlambatnya pengiriman dari distributor. Dikatakan Whisnu, distribusi di retail-retail modern kecil seperti Indomaret dan Alfamart dilakukan dua sampai empat hari sekali.
Panggil 3 Pemain Besar, KPPU Kejar Alat Bukti Kartel Minyak Goreng
Minggu, 6 Februari 2022 | 15:54 WIB
Jakarta, Beritasatu.com – Harga minyak goreng (migor) yang tak kunjung turun mendorong Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) memanggil tiga perusahaan migor besar, Jumat (4/2/2022), untuk mengusut dugaan kartel di industri ini. Dalam tahap prapenyelidikan ini, fokus KPPU adalah mencari keterangan dan alat bukti dugaan kartel.
Jika alat bukti ditemukan, proses prapenyelidikan dugaan persaingan usaha tidak sehat industri migor bisa naik ke level penyelidikan. Dari tiga perusahaan yang dipanggil KPPU, hanya satu yang datang, sedangkan sisanya minta pertemuan dijadwalkan ulang. KPPU tidak bersedia merilis nama-nama perusahaan yang dipanggil.
Berdasarkan kajian KPPU, terdapat struktur pasar oligopolistik di sektor migor. Saat ini, empat pemain besar migor menguasai 46% pasar. Bahkan, KPPU menemukan indikasi kenaikan harga serempak dilakukan pelaku usaha pada akhir tahun lalu. Faktor ini membuat KPPU membawa persoalan ini ke ranah penegakan hukum sejak 26 Januari 2022. Apalagi, dugaan persaingan usaha tidak sehat membuat harga migor sulit turun, kendati pemerintah telah mengeluarkan sejumlah kebijakan.
Pemerintah merilis kebijakan domestic market obligation (DMO) dan domestic price obligation (DPO) minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan olein. Terakhir, pemerintah menetapkan harga tertinggi (HET) migor curah sebesar Rp 11.500 per liter, kemasan sederhana Rp 13.500 per liter, dan kemasan premium sebesar Rp 14.000 per liter mulai 1 Februari 2022.
Faktanya, harga migor di pasaran tetap tinggi. Dari pantauan Investor Daily, harga migor kemasan bersubdisi Rp 14.000 per liter di beberapa gerai ritel modern Jakarta dan Bekasi ludes. Kemudian, di Pasar Baru, Bekasi Timur, seperti dilaporkan Beritasatu.com, harga migor curah masih Rp 14.000 per liter, jauh di atas HET. Pedagang berdalih masih menjual migor stok lama.
Di laman infopangan.jakarta.go.id, harga migor curah di Jakarta rata-rata mencapai Rp 19.295 per kilogram (kg). Harga migor curah tertinggi ada di pasar Mampang Prapatan Rp 21.000 per kg, sedangkan termurah di Pasar Kramat Jati Rp 15.000 per kg.
Kepala Biro Hubungan Masyarakat dan Kerja Sama KPPU Deswin Nur menuturkan, pemanggilan tiga perusahaan migor menandakan dimulainya prosesnya pra-penyelidikan sebagai awal suatu penegakan hukum. Itu artinya, KPPU belum masuk ke penyelidikan dugaan kartel.
“Jadi kami belum punya daftar terlapor, belum ada pasal yang dituduhkan, dan belum ada pasar bersangkutan yang kami targetkan. Ini masih dalam tahapan mengumpulkan data,” kata dia.
Menurut dia, keterangan terkait kondisi industri migor akan dikaitkan dengan perilaku pelaku usaha. Itu sebabnya, pekan ini dan pekan depan, KPPU masih fokus memanggil para produsen migor terkait. Dari sini, KPPU akan mengembangkan ke pelaku usaha lain, seperti distributor, ritel, dan lain-lain.
“Ini semua akan kami cari. Tujuannya untuk mencari minimal satu alat bukti pelanggaran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat untuk bisa masuk ke tahapan penyelidikan,” kata dia.
Dia menuturkan, saat ini, produsen migor besar menghasilkan produk dalam kemasan dan terintegrasi dengan bisnis hulu. Ada juga kemungkinan mereka juga menjual migor curah. Bagi KPPU, susah memisahkan antara pemain migor kemasan dan curah. Dengan demikian, fokus KPPU ke produsen migor terlebih dahulu.
Dia menyatakan, tidak ada batas waktu dalam tahap prapenyelidikan dugaan persaingan usaha tidak sehat. Sebab, KPPU membutuhkan keterangan sebanyak-banyaknya dari semua pihak yang terlibat di industri ini. KPPU, kata dia, tidak cuma bicara soal industri migor, melainkan juga CPO. Itu artinya, KPPU membutuhkan banyak informasi dari beberapa pihak.
“Lalu, bukti-bukti di lapangan harus kami cari, sehingga waktunya sangat dinamis, walaupun secara regulasi internal, proses ini dilakukan 3-6 bulan. Tapi, ini bisa terus diperpanjang, tergantung pada alat bukti yang kami temukan. Target kami minimal satu alat bukti, baru kami bisa lanjut ke proses lanjutannya,” kata dia.
Saat ini, dia menyatakan, KPPU kini fokus mengejar keterangan dari pemain migor. Tetapi, jika dibutuhkan, KPPU akan memanggil asosiasi terkait, seperti Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki). Adapun waktu penyelidikan dugaan kartel bisa 60 hari kerja dan bisa diperpanjang satu kali.
Lewat berbagai pemanggilan tersebut, kata dia, KPPU akan mendalami secara detail berbagai informasi awal terkait produsen serta informasi mengenai proses bisnis perusahaan yang eksis di industri migor dan konstruksi perilaku antipersaingannya, khususnya pada aspek pembentuk harga, validasi berbagai isu yang berkembang di pasar, dan yang berkaitan dengan potensi pelanggaran undang-undang.
Keseluruhan proses ini, kata dia, sangat dipengaruhi oleh keterangan dan alat bukti yang diperoleh serta kerja sama yang ditunjukkan oleh para pihak. Untuk itu, KPPU mengimbau agar para pihak patuh pada proses penegakan hukum yang berjalan
Dominasi Perusahaan Besar
Ketua KPPU Ukay Karyadi menjelaskan, hampir setengah pasar migor dikendalikan oleh empat produsen besar. Itu sebabnya, muncul dugaan kartel di industri migor.
Menurut dia, pelaku usaha terbesar industri migor tergabung dalam kelompok usaha terintegrasi, mulai dari perkebunan kelapa sawit, pengolahan CPO, hingga migor.
Lalu, ketika ada kenaikan harga CPO di pasar internasional, situasi tersebut dijadikan momentum pengusaha migor di kelompok usaha besar untuk menaikkan harga.
“Padahal, pabrik mereka terintegrasi secara vertikal dengan kebun sawit, sehingga mendapat pasokan CPO dari kebun sendiri,” ujar dia.
Dia menyatakan, langkah satu perusahaan besar menaikkan harga migor diikuti pemain lainnya, sehingga harga kompak naik. Padahal, logikanya, jika harga migor PT A naik, PT B bisa mengambil alih pasar PT A, dengan tidak ikut menaikkan harga. Namun, yang terjadi justru para pemain besar migor kompak menaikkan harga jual.
“Nah, ketika kenaikan terjadi, pemerintah sampai harus turun tangan dengan mengintervensi harga melalui kebijakan satu harga di level Rp 14.000 per liter dan terbukti tidak efektif. Alhasil, keluar lagi kebijakan DMO dan DPO,” ungkap Ukay.
Ukay mengatakan, struktur pasar yang cenderung oligopoli di komoditas migor menyulitkan Kementerian Perdagangan (Kemendag) untuk menstabilkan harga yang sudah bergejolak panjang. Artinya, intervensi yang dilakukan di hilir dinilai kurang efektif, tanpa pembenahan struktur industri hulu.
“Intervensi pasar di hilir tanpa membenahi struktur industri menjadi kurang efektif, karena posisi awal ada di perusahaan-perusahaan besar tersebut,” ucap Ukay.
Lebih lanjut Ukay mengatakan, KPPU juga akan menginvestigasi kelangkaan peredaran migor. Sebab, sampai pasokan migor murah tidak ada. Padahal, pemerintah sudah mengintervensi pasar.
“Nah, barang ini nyangkut di mana, apakah di pabrik, distributor, atau pedagang? Ini menjadi bagian dari investigasi kami,” kata Ukay.
Rencananya, dia melanjutkan, KPPU memulai investigasi ke pabrik atau industri migor terlebih dahulu. Sebab, kata Ukay, struktur pasar migor relative oligopoli atau dikuasai oleh pengusaha- pengusaha besar. Selain itu, Ukay menemukan kejanggalan lain, karena dari 74 perusahaan migor, kebanyakan terkonsentrasi di pulau Jawa. Perinciannya, paling banyak di Jawa Timur yaitu 23 perusahaan, DKI Jakarta 11 perusahaan, Jawa Barat enam perusahaan, Jawa Tengah tiga perusahaan, dan di Banten dua perusahaan.
Adapun di luar Jawa jumlahnya tidak terlalu signifikan. Contohnya, di Sumatera Utara, ada 14 perusahaan, sedangkan wilayah lainnya hanya satu sampai dua perusahaan.
“Padahal, komponen terbesar industri migor adalah CPO selaku bahan baku. Logikanya,, kalau CPO jadi komponen terbesar, harusnya pabrik mendekati sumber bahan baku agar lebih efisien. Ini sangat ironis. Artinya, harus ada relokasi pabrik migor di area dekat bahan baku,” kata Ukay.
KPPU, tambah dia, tidak akan main-main, karena bukan kali ini saja lembaga itu menindak tegas pelaku usaha migor. Pada 2010, KPPU telah menghukum pelaku kartel migor. Dia menegaskan, investigasi dugaan kartel migor sudah dilakukan sejak Oktober 2021, saat harga mulai melonjak menjadi Rp 20 ribu per liter. Penelitian itu difokuskan pada dua hal, yaitu apakah kenaikan harga disebabkan kebijakan pemerintah atau karena perilaku antipersaingan oleh pelaku usaha.
Pada 2007, dia menyatakan, KPPU menyampaikan rekomendasi kepada pemerintah agar mencabut regulasi yang menimbulkan hambatan masuk (entry barrier) pelaku usaha baru di industri migor, termasuk pelaku usaha lokal dan skala menengah kecil. Sebab, kata dia, semakin banyaknya pelaku usaha baru, diharapkan akan mengurangi dominasi kelompok usaha yang terintegrasi secara vertikal.
Untuk menjamin pasokan CPO, KPPU menyarankan perlu didorong adanya kontrak antara produsen mmigor dan CPO untuk menjamin harga dan pasokan. Lembaga itu berharap harga migor berjalan sesuai hukum pasar dan tidak dipengaruhi kartel atau kesepakatan alias hukum supply dan demand. KPPU juga mendorong penumbuhan pelaku usaha migor yang tidak terafiliasi dengan perusahaan besar.
Bagikan
BERITA TERKAIT
BERITA TERKINI
204 Juta Data Pemilih di KPU Bocor, Menkominfo Sebut Bukan Motif Politik
1

B-FILES


Pemilu 2024 vs Kesejahteraan Mental Generasi Z
Geofakta Razali
Rakernas IDI dan Debat Pilpres 2024
Zaenal Abidin
Indonesia dan Pertemuan Puncak APEC
Iman Pambagyo