Surabaya, Beritasatu.com - Keramik buatan tangan atau handmade asal Jawa Timur, Lumosh, mampu menembus pasar lokal dan ekspor meskipun harus bersaing dengan produk impor.
Jika Anda kebetulan mengunjungi kafe atau restoran di Surabaya atau Jakarta dan menemukan perlengkapan cangkir atau piring unik dengan kombinasi desain keramik dan kayu, mungkin itu adalah salah satu produk Lumosh.
Namun, tahukah Anda bahwa produk ini awalnya adalah hanya kerajinan keramik konvensional yang nyaris tertelan zaman dan persaingan dengan produk-produk impor.
Adalah tiga anak muda, yakni Angeline Ariesta, Florencia Dewi Marcelina, dan Raymond Tjiadi, yang pada tahun 2016 berani 'menyelamatkan' usaha yang sudah ditekuni orang tua Angeline Ariesta sejak 1992 di Probolinggo. Mereka bertiga adalah teman kuliah saat menempuh studi S1 maupun S2.
"Dengan membentuk CV Lumosh Living, kami bertiga ingin mengelola usaha keluarga teman kita ini dan di-branding agar bisa bersaing di pasar disesuaikan dengan kondisi saat ini," kata Dewi, sapaan akrab Florencia Dewi Marcelina di Surabaya, Sabtu (14/11/2020).
Sebagai anak muda, ketiganya mengerti betul kondisi pasar dan potensi yang bisa digarap. Akhirnya, mereka berinisiatif menggabungkan produk berbahan keramik dengan bahan lain, seperti kayu namun tetap mempertahankan model yang ada. Seperti cangkir dikombinasi bahan kayu, atau keramik dengan finishing corak kayu dengan bermain dengan reaksi warna, dan sebagainya.
"Awalnya kita mendapat pertentangan dengan orang tua Angeline yang notabene pendiri usaha ini. Mereka pesimistis apakah bisa bersaing. Namun kita bisa meyakinkan, dan akhirnya jalan," ungkap Dewi.
Dengan kepercayaan itu, dia ingin menunjukkan bahwa pengrajin keramik lokal, khususnya dari Jawa Timur itu mampu bersaing dengan barang-barang impor baik dari design maupun kualitas. "Yang perlu dibimbing dari pengrajin ini cuma arahan design-nya gimana yang sesuai dengan pasar. Jika dibimbing, mereka bisa kok," ujarnya.
Bersama Raymond, Dewi bertugas menjadi marketing dan memberi masukan ide-ide tren ke depan. Sedangkan Angeline fokus ke desain dan produksi. Mereka menyelaraskan antara bisnis, market dan desain.
"Kami melihat potensi pasar dining ware cukup besar dan menantang, baik di pasar lokal maupun di luar negeri. Hal ini juga seiring dengan munculnya kafe dan restoran baru serta tempat-tempat komersial yang instagramable," jelas Dewi.
Upaya ketiganya tak sia-sia. Pasalnya, produk-produk yang dihasilkan mampu menarik minat pemerintah daerah setempat, dan mengajaknya ikut pameran Inacraft pada tahun 2017. Hal itu membuatnya makin percaya diri karena dari situ produk Lomush kian dikenal pasar.
"Akhirnya kami aktif ikut di beberapa pameran, seperti Jakarta Coffee Week, hingga Coffee Show di Korea pada tahun 2019," tambah Raymond Tjiadi.
Sejak saat itu, permintaan produk Lumosh terus mengalir. Mereka memesan untuk produk dining ware yang sudah ada maupun custom dengan membawa desain atau model sendiri. Kebanyakan konsumen adalah dari kafe atau restoran, hotel, hingga individu untuk sekadar koleksi.
"Untuk permintaan kami membatasi minimal 36-50 piece atau set. Harga yang kami patok mulai Rp 50.000 tergantung tingkat kerumitan. Untuk produk piring mulai Rp 100.000, sedangkan produk yang kominasi kayu bisa mencapai Rp 220.000," ungkap Raymond.
Dewi maupun Raymond bersyukur, permintaan produknya terus meningkat hingga dua kali lipat saban tahunnya. Tak hanya dari pasar domestik, beberapa diantaranya dari luar negeri, seperti Korea, hingga Dubai.
"Saat ini untuk ekspor yang menjadi kendala adalah ekspedisi, karena ini produk keramik, jadi kemasannya harus diperhatikan. Jangan sampai, ketika tiba di tempat customer pecah," ucap Raymond.
Dengan kenyataan itu, Raymond bilang, membuktikan produk keramik handmade Jawa Timur tak kalah dengan daerah lain, seperti Bali atau Jawa Tengah, bahkan produk impor.
Ditegaskannya, Lumosh ingin mengedukasi bahwa barang handmade tidak bisa disamakan dengan barang pabrikan, yang 100 persen sama dan sempurna. Namun ada value lebih dari produk handmade ini. "Nah, selama ini para pengrajin dinilainya sudah under appreciated karena dianggap hasilnya jelek. Padahal, justru itu yang banyak dicari customer, yang berbeda dan limited," tandasnya.
Bahkan, dengan memakai perangkat atau dining ware produk handmade yang limited, produk makanan atau minuman yang disajikan sah-sah saja dibanderol lebih mahal.
"Itu sesuai dengan motto Lumosh yakni redefining your dining ware. Karena tiap makanan biasa, kalau pakai Lumosh, pasti jadi gak biasa, jadi fine dining," pungkas Raymond.
Sumber: BeritaSatu.com