Bilik pemutaran dokumenter miliknya agak tersembunyi di ujung kanan hall Gudang Sarinah yang menjadi areal pameran seni Jakarta Biennale 2015. Jika tak terlalu tertarik dengan pemutaran dokumenter yang sedikit bertele-tele dan dianggap sebagai karya seni dua dimensi semata, bisa jadi bilik pemutaran dokumenter bertajuk 'Episode III: Enjoy the Poverty' hasil karya Renzo Martens ini akan dilewatkan para pengunjung.
Bisa dimaklumi, karena begitu memasuki hall pameran, mata pengunjung telah dimanjakan oleh berbagai karya seni instalasi dengan beribu pesan serta kemasan. Maka apalah deret bangku berbentuk tangga tersedia hanya untuk menyaksikan sebuah dokumenter, dua dimensi. Apalagi waktu tayangnya juga cukup menyita waktu, 90 menit!
Berlokasi di Kongo, negara di Afrika Tengah, Martens merekam segala peristiwa dan persoalan-persoalan yang membelit masyarakat. Soal perang akibat gesekan politik tingkat penguasa, kemiskinan, kelaparan, hingga eksploitasi masyarakat sipil serta sumber daya oleh entitas kapital global seperti hanya urutan cerita klise yang dicoba disampaikan oleh Martens. Itulah yang akan ditangkap dari dokumenter ini selama 10-20 menit pertama.
Begitu memasuki menit ke 20 menit berikutnya, Martens mulai mengusik banyak hal yang oleh publik dinilai sebagai hal biasa. Kehalusan rasa akan banyak digugah oleh pertanyaan-pertanyaan Martens yang kerap memunculkan wajahnya di layar, untuk menunjukkan ekspresi tanya dan kegaduhan yang muncul dalam pikiran dan jiwanya.
Sebuah pertanyaan simpel ia ajukan pada seorang pewarta foto dari AFP yang mengklaim bahwa foto-foto yang ia ambil adalah hasil kreasi dan hak milik intelektual. “Berapa uang yang mereka (objek foto, red) terima dari Anda? Bukankah mereka yang membuat Anda mampu menghasilkan gambar dramatis dan memberikan Anda uang?” tanyanya ketika masuk ke bilik sang fotografer.
Di menit berikutnya ia menjawab permintaan sejumlah pemuda setempat yang ingin menjadi pewarta foto dan memiliki kartu pengenal dari PBB sehingga mampu masuk ke sejumlah akses-akses penting tanpa takut dengan risiko perang. Ironisnya, ia mengajarkan para fotografer pemula tersebut untuk mengambil tema-tema kemiskinan dan kelaparan, yang bagi mereka bukan lagi hal baru. Dalam satu kesempatan ia meminta para fotografer pemula tersebut mengambil gambar tonjolan-tonjolan tulang iga yang jelas muncul dari bayi-bayi pengidap kekurangan gizi di sebuah unit pengobatan. “Kemiskinan adalah sumber daya yang Anda miliki,” itu yang disampaikan kepada para fotografer pemula. Satir yang sangat pahit.
Berikutnya para penonton akan disuguhi pahitnya hidup di daerah konflik dengan kemiskinan yang membelit. Kematian yang bisa menghampiri kapan saja, entah karena kemiskinan itu sendiri, atau perang. Maka Martens memulai kampanyenya dengan membawa neon sign bertuliskan “Enjoy the Poverty”, dan dipasangnya secara marathon di sejumlah kantung-kantung kemiskinan, membawanya dengan rakit melewati sungai untuk menembus kantung-kantung kemiskinan lainnya. Satir pahit yang harus ditelan oleh masyarakat, dan hanya jadi 'kudapan' ringan bagi publik di luar Kongo.
Martens tinggal secara berkala di Belanda, Brussel dan kadang di Kinshasha, ibukota Kongo. Episode III pertama kali diputar di Stedelijk Museum Bureau Amsterdam. Berikutnya karya Martens ini banyak diputar di sejumlah festival seni seperti Amsterdam International Documentary Festival's 2008, di Centre Pompidou, ZKM Karlsruhe, Kunsthalle Goteborg, Tate Modern, Arnolfini Bristol, The BOX LA, dan biennale seni seperti Moscow Biennal, Berlin Biennal dan Manifesta.
Karya Martens seperti mengingatkan pada dokumenter yang dibuat John Pilger, seorang jurnalis yang membuka cerita tentang sisi lain dari manufaktur tekstil dunia yang produksinya berbasis di Indonesia, berjudul 'The New Rulers of The World'. Ia mampu menunjukkan betapa produsen pakaian brand ternama begitu berjarak dengan para pekerjanya, baik skala pendapatan maupun citra yang mewakili brand tersebut. Citra glamournya tak melekat sama sekali dengan citra kehidupan para buruh pabrik yang berbasis di Tangerang.
Sumber: Majalah Investor