Jakarta - Kepala Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf), Triawan Munaf mengatakan dirinya yakin, sampai akhir tahun jumlah penonton film nasional mencapai angka 50 juta penonton. Pasalnya, dari 16 subsektor ekonomi kreatif yang menjadi tugas pokok Bekraf, subsektor film, animasi, dan video menunjukkan peningkatan yang signifikan setiap tahunnya.
Menjelang akhir November, jumlah penonton telah berjumlah 47 juta orang, melampaui jumlah penonton tahun lalu sebanyak 42,7 juta orang dan 37,2 juta penonton pada 2016. Peningkatan angka tersebut bisa menjadi sebuah pembuktian, jika industri film Indonesia kian berkembang pesat dan semakin banyak peminatnya.
Bahkan pada tahun ini, setidaknya sudah terdapat 13 judul film dengan pencapaian lebih dari satu juta penonton dengan berbagai genre. Bahkan dua di antaranya mampu mencapai satu juta dalam kurun waktu empat hari penayangan, yaitu Dilan 1990 dan Suzzanna Bernapas dalam Kubur.
Sedangkan dari deretan box office Indonesia, film garapan Pidi Baiq dan Fajar Bustomi, Dilan 1990, disebut-sebut sebagai film dengan penyumbang jumlah penonton pang banyak ditahun ini. Yaitu, 6.315.644 penonton dalam masa penayangannya. Disusul oleh Danur dengan 2.573.672, dan Suzzanna yang kini perolehannya menuju angka dua juta penonton.
Bagi Triawan, potensi penonton Indonesia yang sangat besar dan bisa mengapresiasi film produksi lokal secara positif adalah salah satu pendorong terbesarnya. Sehingga, kini para sineas dan para rumah produksi mulai berlomba-lomba menggenjot produktivitasnya, menggarap film yang berkualitas dari segi cerita sekaligus menguntungkan secara komersial.
“Film nasional saat ini mampu dan sudah bisa menjadi sebuah industri. Dengan melihat terus bertambahnya jumlah produksi dan bergairahnya penonton film. Namun, tetap masih ada berbagai tantangan yang harus dihadapi kedepannya,” terang Triawan Munaf kepada Suara Pembaruan.
Dirinya menyebutkan, beberapa di antaranya adalah minimnya SDM yang benar-benar mempunyai keahlian di bidang film, sehingga pilihan untuk memperoleh tim dari sutradara, penulis skenario, kru, dan bahkan pemain film sangat terbatas, walau dilihat, beberapa kali pemain Indonesia sudah unjuk gigi di level Hollywood.
“Saya sudah bicarakan kepada Kemendikbud dan Dirjen Kebudayaan, bahwa ada kebutuhan tinggi di SDM perfilman. Karena, Bekraf tidak bisa membuat sekolah, tetapi SDM perfilman bisa ditopang dengan SMK jurusan film yang saat ini tengah menjadi konsern Kemendikbud dalam melahirkan SDM yang mumpuni,” terangnya.
Permasalahan lain yang tak kalah penting adalah layar bioskop yang terbatas dan tidak merata penyebarannya. Kemudian, melalui Deputi Infrastruktur, Bekraf juga membuat Bioskop Misbar di Sabang, Aceh dan Kayong Utara, Kalimantan Barat. Tak hanya untuk menonton film, Bioskop Misbar ini juga bisa dimanfaatkan untuk berbagai aktivitas kesenian lain.
Kemudian, Bekraf juga membuka akses investasi dan permodalan, melalui kegiatan Akatara Indonesian Film Financing Forum yang mempertemukan investor dan film maker. Menurut Triawan, jalan lain untuk membangun industri film adalah dengan membentuk eksosistem yang kuat.
“Akhir 2015, setelah selama 30 tahun lebih, Indonesia menutup kesempatan untuk investor asing. Saya yakin dari awal regulasi dibuat, investor asing akan membuat film nasional, bukan membuat film asing. Paradigma dan ketakutan kita yang dulu, yang mengungkapkan nanti kita seperti katak dalam tempurung itu salah. Kita punya bakat, dan pasar,” terangnya.
Dari lain sisi, Ketua Gabungan Pengelola Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI), Djonny Syafruddin mengatakan, maraknya jumlah bioskop juga turut mempengaruhi meningkatnya jumlah penonton film nasional. Saat ini jumlah layar di bioskop konvensional Indonesia telah mencapai angka lebih dari 1.200, sedangkan layar bioskop independen kini sekitar 160.
“Saat ini pertumbuhan bioskop cukup bagus. Saya juga sedang membuka bioskop di Kroya yang akan diresmikan akhir 2018. Kemudian, saya juga buka di Pangkal Pinang tiga tahun yang lalu, di ibu kota provinsi, dan meledak jumlah penontonnya,” ungkapnya.
Senada dengan apa yang dikatakan Djonny, pengamat film Bobby Batara yang mengatakan, pertumbuhan bioskop yang semakin baik, tidak hanya di kota, tetapi juga di kabupaten seluruh Tanah Air layar bioskop mulai dilebarkan.
“Beberapa tahun terakhir bukan cuma di group 21 tapi juga digroup group lain seperti Cinemaxx, CGV, atau Platinum. Semakin banyak outlet makin banyak juga orang bisa datang gitu,” terangnya.
Lebih dari itu, ketika jumlah bioskop semakin meluas, dan dunia digital semakin marak, para produser menurutnya juga kini sudah mulai pintar melihat kesempatan besar ini. Ia mengatakan, saat ini bisa dilihat, bagaimana promosi dari rumah produksi yang terlihat berani menggelontorkan dana yang besar, agar banyak orang pergi ke bioskop untuk menonton filmnya ke bioskop.
Sumber: Suara Pembaruan