Jakarta, Beritasatu.com - Direktur Eksekutif Kemitraan Laode M Syarif menyayangkan peralihan status kepegawaian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) dan ditempatkannya KPK pada ranah kekuasaan eksekutif. Kondisi tersebut dikhawatirkan Syarif akan membuat KPK tak lagi independen dalam memberantas korupsi. Padahal, independensi KPK sebelumnya dikenal dunia bahkan menjadi best practice lembaga antikorupsi dari United Nation Convention Against Corruption (UNCAC).
"Saya pernah dimintai beberapa kali untuk memberikan pernyataan dan contoh best practices lembaga antikorupsi di dunia, salah satunya KPK. Tapi kenyataannya KPK ditarik ke eksekutif, semua anggota KPK PNS, Aparatur Sipil Negara," kata Syarif saat menjadi pembicara kunci dalam diskusi bertajuk “Proyeksi Masa Depan Pemberantasan Korupsi: Menelisik Pengesahan UU KPK”, Senin (10/8/2020).
Syarif menyatakan, satu indikator keberhasilan komisi antikorupsi adalah independensi para pegawai maupun secara kelembagaan.
Hal itu, kata dia, jelas tercantum dalam UNCAC yang telah diratifikasi oleh Indonesia dan disepakati seluruh lembaga antikorupsi dunia dalam Jakarta Principles pada 2012.
"Menurut UNCAC, salah satu lembaga antikorupsi itu staf harus independen dan lembaga independen, dan itu diakui di Jakarta Principles," tegas Syarif.
Diketahui, UU 19/2019 menyebutkan KPK berada pada ranah kekuasaan eksekutif dan pegawai KPK merupakan aparatur sipil negara. Atas berlakunya UU tersebut, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) 41/2020 tentang alih status pegawai KPK menjadi ASN.
Tak hanya statusnya saja, dalam PP tersebut, sistem penggajian pegawai KPK pun mengikuti sistem penggajian ASN. Padahal, pegawai KPK sebelumnya menerapkan single salary system atau sistem penggajian tunggal.
Syarif menilai, perubahan sistem penggajian tersebut merupakan suatu kemunduran. Untuk itu, Syarif menegaskan, alih status pegawai dan KPK secara kelembagaan merupakan salah satu bentuk pelemahan utama dari revisi UU KPK.
"Jadi itulah salah satu satu kelemahan utama dari UU ini dibanding kelemahan-kelemahan lain," ucapnya.
Dikatakan, sistem gaji tunggal yang selama ini diterapkan pegawai KPK sudah berjalan baik dan selayaknya diduplikasi oleh pemerintah namun yang terjadi saat ini, sistem yang sudah bagus tersebut diubah menjadi sistem penggajian ASN yang bermasalah terutama dari sisi akuntabilitas.
"Jadi bukan mengikuti sistem penggajian yang sudah benar yang seperti KPK. Malah yang sudah bagus itu diubah menjadi sistem penggajian yang bermasalah," katanya.
Syarif menyatakan, sistem penggajian menjadi salah satu yang disoroti KPK sejak berdiri. Saat itu, kata Syarif, KPK mengadopsi sistem penggajian tunggal yang telah diterapkan di sejumlah negara karena mudah untuk dikontrol dan diawasi, ketimbang sistem gaji dan tunjangan.
Syarif mencontohkan, dengan sistem penggajian ASN yang selama ini berjalan mengakibatkan banyak sekali dibentuk kepanitianhanya untuk mengejar honor atau tunjangan selaku panitia.
"Karena apa? Menjadi panitia itu ada imbalan honor. Jadi selalu seperti itu. Hal-hal seperti ini yang seharusnya dihilangkan," katanya.
Sumber: BeritaSatu.com