Jumat, 31 Maret 2023

Kasus Gwarosa Tinggi, Milenial dan Generasi Z di Korea Selatan Tolak Penambahan Jam Kerja

Surya Lesmana / LES
Minggu, 19 Maret 2023 | 12:26 WIB

Seoul, Beritasatu.com – Di banyak negara, mempersingkat waktu jam kerja untuk meningkatkan kesehatan mental dan produktivitas karyawan mungkin jadi kebijakan populer. Tapi tidak di Korea Selatan.

Pemerintah Korea Selatan diketahui sedang menyiapkan aturan batas kerja 69 jam per minggu dari sebelumnya 52 jam, namun urung diberlakukan karena mendapat reaksi keras dari pekerja kaum milenial dan generasi Z.

Padahal dengan kerja 52 jam per minggu, Korea Selatan sudah masuk dalam daftar teratas, peringkat keempat negara dengan jam kerja terlama di dunia, di belakang Meksiko, Kosta Rika dan Cile pada 2021 menurut lapkran OECD.

Dengan 52 jam bekerja saja, Korea Selatan sudah menghadapi banhyak kasus kematian karena terlalu banyak bekerja atau gwarosa.

Advertisement

Namun pemerintah Korea Selatan tampaknya telah mendapat tekanan untuk menambah jam dari kelompok bisnis yang mengejar peningkatan produktivitas.

Rencana tersebut telah mendapat tentangan keras dari generasi muda dan serikat pekerja.

Menteri senior di kabinet Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol mengatakan, bahwa pemerintah akan mengambil "arah" baru setelah mendengarkan opini publik dan mengatakan, pihaknya berkomitmen untuk melindungi hak dan kepentingan pekerja milenial, generasi Z dan non-serikat.

Menambah jam kerja telah dilihat sebagai cara untuk mengatasi kekurangan tenaga kerja yang dihadapi negara dengan tingkat populasi yang menurun, salah satu yang terendah di dunia.

Para kritikus berpendapat menambah jam kerja akan memperburuk keadaan, di mana para ahli sering mengutip budaya kerja yang menuntut di negara itu dan kekecewaan yang meningkat di kalangan generasi muda sebagai faktor pendorong masalah demografisnya .

Baru-baru ini pada tahun 2018, Korea Selatan telah menurunkan batas jam kerja dari 68 jam seminggu menjadi 52 saat ini, sebuah langkah yang pada saat itu mendapat dukungan luar biasa di Majelis Nasional.

Undang-undang saat ini membatasi jam kerja dalam seminggu hingga 40 jam ditambah dengan 12 jam lembur yang dikompensasikan, meskipun pada kenyataannya, banyak pekerja mendapati diri mereka berada di bawah tekanan untuk bekerja lebih lama.

“Proposal itu tidak masuk akal… dan sangat jauh dari apa yang sebenarnya diinginkan pekerja,” kata Jung Junsik (25), seorang mahasiswa dari ibu kota Seoul yang menambahkan bahwa meskipun pemerintah memutar balik, banyak pekerja masih akan ditekan untuk bekerja di luar batas maksimum yang sah.

“Ayah saya bekerja berlebihan setiap minggu dan tidak ada batasan antara pekerjaan dan kehidupan,” katanya.

“Sayangnya, ini cukup umum di dunia kerja. Pengawas ketenagakerjaan tidak dapat mengawasi setiap tempat kerja 24/7. Orang Korea Selatan akan (tetap) rentan terhadap kerja lembur yang mematikan.”

Menurut OECD , orang Korea Selatan bekerja rata-rata 1.915 jam pada tahun 2021, jauh di atas rata-rata OECD 1.716 dan rata-rata jam kerja di Amerika 1.767.

Jam kerja yang panjang, di samping tingkat pendidikan yang tinggi dan peningkatan jumlah wanita yang memasuki dunia kerja, pernah dipuji secara luas sebagai bahan bakar pertumbuhan ekonomi negara yang luar biasa setelah Perang Korea pada 1950-an, ketika perekonomiannya berubah dari ekonomi miskin menjadi salah satu ekonomi terkaya di dunia. .

Namun, para kritikus mengatakan sisi sebaliknya dari jam kerja yang panjang itu dapat dilihat dengan jelas dalam sejumlah kasus "gwarosa", di mana orang yang kelelahan membayar dengan nyawa mereka melalui serangan jantung, kecelakaan industri, atau kecelakaan saat mengemudi karena kurang tidur.

Haein Shim, juru bicara kelompok feminis Haeil yang berbasis di Seoul, mengatakan pertumbuhan pesat dan kesuksesan ekonomi negara itu harus dibayar mahal dan usulan untuk menambah jam kerja mencerminkan "keengganan pemerintah untuk mengakui realitas masyarakat Korea Selatan."

Dia mengatakan “isolasi dan kurangnya komunitas yang berasal dari jam kerja yang panjang dan hari kerja yang intens” telah merugikan banyak pekerja dan “jam kerja yang gila akan semakin memperburuk tantangan yang dihadapi oleh wanita Korea.”

Selain kasus gwarosa, negara ini juga memiliki angka bunuh diri tertinggi di antara negara maju, menurut data Badan Pusat Statistik, jelasnya.

“Sangat penting bagi pemerintah (dan perusahaan) untuk mengatasi masalah mendesak yang sudah mempengaruhi kehidupan,” kata Shim.

“Kebutuhan akan dukungan dan keseimbangan kehidupan kerja yang sehat tidak dapat diabaikan jika kita ingin memastikan kesejahteraan individu dengan realitas tingkat bunuh diri tertinggi di OECD.”

Pada 2017, setahun sebelum pemerintah mengurangi batas jam kerja, ratusan orang meninggal karena terlalu banyak bekerja, menurut data pemerintah. Bahkan ketika jam kerja dipotong menjadi 52 jam, kasus “gwarosa” terus menjadi berita utama.

Pada tahun 2020, serikat pekerja mengatakan 14 pekerja pengiriman telah meninggal karena terlalu banyak bekerja, mengorbankan kesehatan mental dan kesejahteraan mereka untuk menjaga negara tetap berjalan selama puncak pandemi Covid-19.



Saksikan live streaming program-program BTV di sini


Bagikan

BERITA TERKAIT

BERITA TERKINI

1035723
1035721
1035722
1035718
1035717
1035716
1035715
1035714
1035712
1035711
Loading..
Terpopuler Text

Foto Update Icon