Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) telah menolak permohonan sejumlah masyarakat untuk menaikkan batas usia perkawinan dari 16 tahun menjadi 18 tahun. Padahal, pendewasaan usia kawin ini merupakan salah satu bentuk perlindungan pada anak.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Yohanna Yembise mengatakan, konsekuensi perkawinan usia anak terhadap faktor kesehatan, reproduksi, dan pendidikan menjadi alasan yang mendasari usia tersebut sebagai batas kategori status anak.
Perkawinan usia anak, kata Yohanna, menimbulkan berbagai dampak. Dari sisi kesehatan, merujuk penelitian oleh UNICEF, perempuan yang melahirkan pada usia 10-14 tahun beresiko lima kali lipat meninggal saat hamil maupun bersalin dibandingkan dengan kelompok usia 20 – 24 tahun. Resiko ini bahkan meningkat dua kali lipat pada usia 15 – 19 tahun.
Dari segi psikologis, perkawinan pada usia anak dapat mengganggu kesehatan jiwa pada saat dihadapkan pada urusan rumah tangga. Ini dikarenakan anak belum siap memikul tanggung jawab mengurus rumah tangga, khususnya pekerjaan domestik yang belum selayaknya dikerjakan oleh anak.
Secara sosial, perkawinan pada usia anak akan menghilangkan masa untuk mengembangkan kehidupan sosialnya, kehilangan waktu bermain dan momentum untuk menikmati masa kanak-kanak. Dilihat dari sisi tumbuh kembang, anak perempuan di bawah usia 18 tahun masih belum memiliki kesiapan mental untuk menjadi ibu, sehingga bisa berisiko kematian ibu
dan bayi ketika melahirkan.
“Perkawinan anak dengan kehamilan dini berisiko tinggi terhadap janin yang dikandungnya, seperti hasil penelitian PSKK UGM yang menyebutkan bahwa 14 persen bayi yang lahir dari ibu berusia remaja di bawah 17 tahun adalah prematur,” kata Yohanna di Jakarta, Jumat (19/6).
Di sisi lain, kata Yohanna, Indonesia memiliki komitmen yang sangat tinggi untuk memberikan jaminan perlindungan kepada anak melalui kerangka regulasi dan kebijakan, baik nasional maupun internasional. Regulasi tersebut, yakni UU 23/2002 yang telah diubah menjadi UU 35/2014 tentang Perlindungan Anak di tingkat nasional, dan pada tingkat internasional ada The Convention on the Rights of the Child atau Konvensi Hak Anak.
Sebelumnya, dalam sidang MK, Kamis (18/6), hakim konstitusi memutuskan menolak permohonan uji materi UU 1/1974 tentang Perkawinan, khusus Pasal 7 ayat (1) dan (2) yang mengatur soal batas usia perkawinan. MK menilai dalil permohonan tidak beralasan.
Uji materi Pasal 7 ayat (1) dan (2) UU Perkawinan ini diajukan Koalisi 18 yang terdiri dari Indri Oktaviani, FR Yohana Tantiana W, Dini Anitasari, Sa’baniah, Hidayatut Thoyyibah, Ramadhaniati, dan Yayasan Pemantau Hak Anak (YPHA). Aturan ini dinilai bertentangan dengan UUD 1945.
Sumber: suara pembaruan