BKKBN: 4,8 Juta Bayi Lahir Tiap Tahun
Denpasar, Beritasatu.com - Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP) Indonesia masih tergolong tinggi. Hingga akhir 2018, LPP Indonesia berada di posisi 1,39%, yang berarti setiap tahun ada 4,2 juta sampai hampir 4,8 juta bayi baru lahir di Indonesia. Angka ini turun dari 2010 sebesar 1,49%, tetapi penurunannya sangat lamban. Tahun depan, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN) menargetkan, LPP turun di bawah 1,2%.
Masih tingginya angka LPP Indonesia tak lepas dari capaian program-program pengendalian penduduk, yang sebagiannya merupakan tanggung jawab BKKBN. Hingga 2018 sejumlah indikator pengendalian penduduk gagal tercapai.
Saat berbincang-bincang dengan SP, Jumat (8/2) pagi, Sekretaris Utama (Sestama) BKKBN, Nofrijal mengatakan, baru dua dari enam indikator program kependudukan dan KB yang tercapai hingga akhir 2018. Indikator tersebut adalah angka kelahiran total atau total fertility rate (TFR) yang turun dari 2,6 menjadi 2,38. Artinya satu wanita usia subur di Indonesia berpotensi memiliki anak lebih dari dua. Pemerintah menargetkan TFR turun sampai 2,1 di tahun 2025, yang menandakan penduduk sudah tumbuh seimbang.
Satu indikator lain yang juga tercapai adalah angka kelahiran menurut umur atau age specific fertility rate (ASFR) pada perempuan muda 15-19 tahun. ASFR di Indonesia masih terbilang tinggi dibanding negara lain di ASEAN, meskipun telah menurun dari 46 menjadi 36 per 1000 kelahiran. Angka ASFR telah melampaui target BKKBN tahun ini, yakni 40 per 1000 kelahiran. Namun, angka 36 ini tetaplah memprihatinkan. Mereka penyumbang tingginya angka balita stunting, kematian ibu dan bayi di Indonesia.
Di sisi lain, BKKBN harus bekerja ekstra keras untuk mencapai empat indikator lain yang belum berhasil dicapai dikarenakan sejumlah kendala. Pertama, penggunaan alat kontrasepsi atau contraceptive prevalensi rate (CPR) masih rendah. Saat ini, jumlah peserta KB aktif baru 57,2% padahal targetnya 61,2%.
“BKKBN hanya mampu meningkatkan rata-rata setiap tahun 1% dari yang seharusnya 4%. Kendalanya, beberapa daerah belum digarap karena sulit dijangkau,” kata Nofrijal di sela-sela kegiatan sosialisasi dan konsultasi pelaksanaan DAK program KB 2019 untuk wilayah regional III yang berlangsung selama tiga hari di Denpasar, Bali.
Kedua, kebutuhan KB yang tidak terlayani (unmet need) baru berhasil diturunkan menjadi 12,4% dari target seharusnya sebesar 10,14%. Kendalanya, penyebaran kontrasepsi tidak merata sampai ke fasilitas kesehatan. Selain itu, terdapat masa transisi pelayanan KB dari yang sebelum dengan sesudah dibiayai oleh BPJS Kesehatan. BKKBN segera melakukan pembenahan, terutama sinkronisasi data berapa peserta KB yang dibiayai BPJS Kesehatan.
Ketiga, angka putus pakai (drop out) kontrasepsi masih tinggi. Meskipun mengalami penurunan sampai 25%, angka ini belum memuaskan dari angka idealnya yang berada di bawah 20%. Keempat, penggunaan metode kontrasepsi jangka panjang (MKJP) belum sesuai harapan. Tingginya angka putus pakai disebabkan oleh angka ini. Angka penggunaan MKJP memang meningkat sebesar 23,1% dari target 22,3%. Akan tetapi, kemudahan mengakses jenis kontrasepsi jangka pendek seperti pil dan suntikan menyebabkan angka putus pakai tetap tinggi.
“Kita butuh tenaga yang harus terlatih terutama yang tinggal di daerah pelosok. Selain itu, pilihan MKJP ini lebih banyak ke implan. Sementara pengadaan implan di 2018 ada sedikit masalah. Tidak semua provinsi bisa menyediakannya,” kata Nofrijal.
Sumber: Suara Pembaruan
Saksikan live streaming program-program BTV di sini