Jakarta, Beritasatu.com - Istilah reproduction number (Ro) atau angka reproduksi dalam pandemi virus corona (Covid-19) belakangan populer. Tetapi, benarkah istilah tersebut digunakan saat ini untuk menggambarkan kurva Covid-19.
Pakar epidemiologi sekaligus Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Andalas (FKM UI), Defriman Djafri, mengatakan, angka reproduksi sebetulnya ada dua bagian, yaitu basic reproduction number (Ro), dan effective reproduction number (Re/Rt).
Baca Juga: Hadapi New Normal, Pesantren Butuh Perhatian Khusus
Ro adalah jumlah kasus baru yang tertular dari satu kasus infektif pada populasi sepenuhnya rentan. Ro biasanya digunakan di awal adanya kasus (pertumbuhan kasus eksponansial) untuk menunjukkan potensi besarnya pandemi.
Sedangkan Re/Rt adalah jumlah kasus baru yang tertular dari satu kasus terinfeksi pada populasi yang memiliki kekebalan sebagian atau setelah adanya intervensi.
Biasanya Re/Rt digunakan untuk evaluasi penyebaran penyakit, yaitu di masa sekarang ini. Dari definisi itu, istilah Ro tidak tepat lagi digunakan untuk melihat penyebaran virus sekarang. Tepatnya digunakan pada awal Maret lalu. Sedangkan untuk sekaran ini yang paling tepat dipakai adalah Re atau Rt.
Baca Juga: Tatanan New Normal Butuh Perubahan Perilaku Individu
Pada prinsipnya, penghitungan Re/Rt adalah jumlah kasus baru saat ini merupakan hasil penularan kasus infeksi masa lalu. Jadi, misalnya, kasus positif yang dilaporkan Gugus Tugas hari ini Rabu (27/5/2020) sebanyak 23.851, maka itu adalah kasus terinfeksi sejak seminggu lalu. Ini sesuai masa inkubasi di Indonesia yang rata-rata 5-6 hari.
Jadi, jumlah kasus saat ini adalah perkalian angka reproduksi efektif (Re/Rt) dengan jumlah kasus infeksi di periode sebelumnya dengan memperhitungkan daya/bobot infeksi masing-masing kasus di periode tersebut.
Secara sederhana dijelaskan, Rt tidak menginfeksi sebanyak Ro. Misalnya Ro adalah 2, artinya satu orang yang sudah terinfeksi akan menginfeksi 2 orang lain, dan 2 orang ini akan menginfeksi masing-masing 2 orang lagi dalam satu waktu. Inilah yang disebut dengan eksponensial kasus. Sedangkan Rt, satu orang terinfeksi menginfeksi hanya 1 orang. Jadi kalau kurang angkanya kurang dari 1, berarti tidak lagi menginfeksi ke orang lain.
Baca Juga: Sebelum Putuskan New Normal, PSBB Harus Diperketat
Defriman mengatakan, Re/Rt angkanya kurang dari 1 maka intervensi yang dibuat pemerintah, fasilitas kesehatan maupun masyarakat bisa dikatakan berhasil. Tetapi kalau terjadi hanya dalam satu hari, maka tidak bisa dijadikan rujukan untuk relaksasi atau pelonggaran PSBB atau memberlakukan new normal. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan minimal berlangsung selama 2 minggu. Bisa dikatakan Covid-19 tereradikasi jika Re/Rt kurang dari 1 terjadi selama dua minggu berturut turut.
Tetapi faktanya, sejak kasus Covid-19 pertama kali dilaporkan di Indonesia pada 2 Maret lalu sampai dengan hari ini, Re/Rt kurang dari 1 baru pernah terjadi dua kali, yaitu di tanggal 27 April sebesar 0,96 dan 3 Mei dengan angka 0,97. Selebihnya selalu di atas 1.
"Di Indonesia turun kurang dari angka 1 itu baru dua hari, bukan dua minggu. Jadi tidak bisa kita jadikan acuan untuk pelonggaran,” kata Defriman saat dihubungi Beritasatu.com, di Jakarta, Rabu (27/5/2020) malam.
Baca Juga: Jakarta Belum Siap Hadapi New Normal
Oleh karena itu, menurut Defriman, untuk melakukan relaksasi PSBB atau memberlakukan new normal, pemerintah harus memastikan Rt kurang dari 1 selama dua minggu. Dua minggu ini untuk memastikan bahwa penurunan kasus tersebut tidak parsial, melainkan signifikan.
Jika penurunan hanya satu dua hari, pemerintah disarankan tidak melonggarkan PSBB. Karena transmisi virus ini langsung dari orang ke orang, sehingga potensi kejadian luar biasa atau ledakan kasus kapan pun terjadi.
Untuk DKI Jakarta, yang paling diwaspadai adalah serangan gelombang kedua. Terutama kasus impor dari provinsi lain yang terjangkit maupun luar negeri yang masuk ke DKI apabila PSBB dilonggarkan. Penyebaran gelombang kedua menjadi ancaman nyata karena transmisi lokal tidak dikendalikan dengan baik.
Baca Juga: New Normal, Rumah Ibadah Dibuka Bertahap
"Ketika di DKI sudah dikendalikan, yang justru jadi ancaman adalah kasus impor. Inilah yang akan dihadapi pak Anies ke depan. Jangan anggap penyebaran virus ini hanya satu episode saja. Kita salah kalau menganggap kasus turun kemudian aman, karena ancaman ke depan adalah kasus impor,” kata Defriman.
Defriman juga menyarankan, pemerintah harus mewaspadai serangan gelombang kedua. Karena itu, untuk menerapkan new normal, pemerintah harus memastikan bahwa sudah ada perubahan perilaku masyarakat, seperti pakai masker, cuci tangan pakai sabun, jaga jarak fisik, dan lain-lain. Persoalannya, selama ini tidak ada kajian atau evaluasi seberapa banyak penduduk yang punya perubahan perilaku atau kepatuhan pada protokol kesehatan selama PSBB diberlakukan.
Kemudian, pemerintah juga harus memastikan kesiapan layanan kesehatan baik itu di rumah sakit, tenaga medis, dan surveilensnya. Ini penting karena rumah sakit adalah garda terakhir. Ketika new normal diberlakukan, tetapi fasilitas ini tidak siap, maka bisa kelabakan menghadapi lonjakan kasus.
Baca Juga: Kirab Petakan Kasus Covid-19 Berbasis NIK
Menurut Defriman, Re/Rt sebaiknya diumumkan oleh pemerintah atau Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 setiap hari. Ini sebagai evaluasi dan agar masyarakat juga ikut memantau penurunan Rt dalam dua minggu.
Sumber: BeritaSatu.com