Jakarta, Beritasatu.com - Pandemi Covid-19 dan resesi, menambah tantangan dalam upaya percepatan penanganan malnutrisi di Indonesia. Oleh karena itu, penting bagi semua pihak untuk tetap memenuhi akses makanan bergizi.
Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Lenny Rosalin menjelaskan, seluruh kondisi yang dihadapi anak Indonesia saat ini bisa menghambat upaya pengentasan stunting di Indonesia.
Pandemi menyebabkan anggaran negara dan nilai mata uang turun, pendapatkan masyarakat berkurang, hingga daya beli menurun. Berdasarkan data Susenas oleh BPS pada Maret 2020 oleh BPS, angka pengeluaran keluarga setelah beras adalah rokok (lebih dari 12 persen), sementara sumber protein seperti telur, ayam dan susu masih sangat minim.
"Pengeluaran keluarga untuk membeli telur hanya 4 persen, membeli ayam juga 4 persen, susu bahkan di bawah itu. Bagaimana stunting mau di atasi jika pola pengeluaran keluarga seperti itu? Padahal untuk pengentasan stunting protein hewani menjadi utama dan disarankan,” ungkap Lenny dalam keterangan pers yang diterima Beritasatu.com, Senin (9/11/2020).
Dalam situasi yang tidak pasti dan penuh dengan tantangan bagi anak Indonesia, prioritas harus tetap diberikan pada kesehatan jangka panjang anak yang akan menjadi pemimpin masa depan. Terlebih, anak Indonesia yang menjadi korban virus Covid-19 merupakan yang tertinggi se-Asia, dengan 3.928 anak terinfeksi dan 59 anak meninggal dunia.
"Hal ini dapat disebabkan oleh banyak hal, beberapa diantaranya rendahnya implementasi protokol kesehatan, keterlambatan penanganan, hingga kurangnya imunitas akibat kekurangan gizi dan malnutrisi,” jelasnya.
Selain dampak langsung pandemi pada anak, Lenny menambahkan, kondisi sosiopolitik yang terjadi di Indonesia juga belakangan menjadi perhatian. Beberapa orang tua mengeluhkan sulitnya mendapatkan produk susu anak mereka karena isu boikot dan sweeping di beberapa tempat yang sejatinya tidak relevan dengan anak Indonesia. Ajakan untuk memboikot produk makanan dan minuman misalnya, juga membuat masyarakat sulit menemukan produk tertentu di toko eceran.
"Menyelamatkan anak bangsa usia 1 tahun sampai dengan 18 tahun yang jumlahnya 80 juta sekarang ini, jauh lebih utama dan penting. Masalah kesehatan jangan dicampur dan dikaitakan dengan isu politik dan ras, agar gangguan gizi bisa terselesaikan dengan baik dan cepat,” ujar Lenny.
Sementara itu, dokter anak yang juga mantan Deputi Kemenko PMK, Dr dr Rachmat Sentika SpA MARS menambahkan, makanan dan minuman yang bergizi merupakan salah satu kunci utama dalam pencegahan dan penanganan malnutrisi.
Jumlah kasus stunting dan gizi buruk pada balita sudah tinggi di Indonesia dan saat ini sedang dalam proses penanganan. Namun semenjak pandemi, upaya tersebut hampir tidak ada.
"Imunisasi hanya terjadi 37,2 persen. Posyandu hanya 19,2 persen yang beroperasi. Dikhawatirkan, dengan kurangnya pemantauan tumbuh kembang anak dan pemberian nutrisi, penurunan angka stunting bisa terganggu,” kata dr Rachmat.
Sumber: BeritaSatu.com