Jakarta, Beritasatu.com - Vaksinasi adalah salah satu alternatif intervensi untuk menekan penyebaran dan angka kematian akibat Covid-19. Untuk menyelenggarakan vaksinasi, tantangan pemerintah bukan hanya soal mendapatkan vaksin yang aman dan efektif saja, tetapi juga bagaimana meyakinkan masyarakat agar mau divaksinasi. Resistensi sebagian masyarakat terhadap vaksin ini perlu menjadi perhatian pemerintah.
Ketua Indonesian Technical Advisory Group on Immunization (ITAGI), Prof Sri Rezeki Hadinegoro mengatakan, untuk meningkatkan kekebalan komunitas atau herd immunity, maka cakupan vaksinasi harus tinggi. Ini terutama untuk menekan angka kematian akibat Covid-19 di Indonesia yang saat ini masih lebih tinggi dari angka global. Selain menyediakan vaksin, juga harus dipastikan banyak masyarakat mau diimunisasi. Riset menunjukkan baru sekitar 70% populasi mau diimunisasi, sisanya ragu-ragu atau tidak mau.
“Harus banyak yang mau diimunisasi. Ini tantangan kita. Ini pentingnya media untuk memberikan informasi apa pentingnya imunisasi, sehingga masyarakat mau,” kata Sri kepada Suara Pembaruan, Selasa (10/11/2020).
Sri mengatakan, sebagian orang tidak mau diimunisasi karena berbagai faktor penyebab. Salah satunya adalah mitos mengenai vaksin yang disebut menyebabkan efek samping berat.
Anehnya orang lebih takut pada efek samping vaksin bukan pada penyakit itu sendiri. Padahal menurut Sri, kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) biasanya terjadi karena kondisi tertentu.
Jenis vaksin seperti Sinovac yang sedang dikembangkan di Universitas Padjajaran Bandung bersama Biofarma memiliki efek samping rendah. Sebab, ini jenis vaksin mati atau diinaktivasi, sehingga tidak berisiko menimbulkan penyakit karena tidak mengandung komponen hidup dari virus.
Efek samping yang ditimbulkan hanya efek lokal, artinya di sekitar tempat penyuntikan, seperti bengkak sementara. Selain itu, sebagian masyarakat mempersoalkan tentang haram-halalnya vaksin.
“Sebetulnya mereka menolak karena belum mengerti dengan baik. Saya mempelajari vaksin saja 20 tahun lebih, apalagi awam. Kadang ada kekhawatiran berlebihan yang harusnya ditarik,” kata Sri saat berbicara dalam dialog bertemakan “Berjuang Tanpa Lelah Menyiapkan Vaksin”.
Untuk meningkatkan pemahaman masyarakat, tidak cukup hanya tenaga kesehatan yang bekerja. Butuh dukungan berbagai pihak, seperti media, tokoh agama atau masyarakat. Informasi yang salah mengenai imunisasi harus diluruskan ke masyarakat.
Sri juga mengatakan, vaksin Covid-19 akan diberikan kepada usia 18-59 tahun. Alasannya, karena uji klinis fase 3 vaksin Sinovac dilakukan terhadap rentang usia ini. Selain itu, kebanyakan penderita Covid-19 berusia produktif yaitu 18-59 tahun.
Ketua Tim Riset Uji Klinis Vaksin Covid-19 Universitas Padjadjaran, Prof Kusnandi Rusmil mengatakan, selain Covid-19, banyak sekali penyakit pada anak di Indonesia yang bisa dicegah dengan imunisasi, seperti TBC, pneumonia, dan diare.
Persoalannya, cakupan imunisasi di Indonesia lebih rendah dibanding negara lain, yaitu hanya sekitar 65%. Padahal di negara lain dengan tingkat kebersihan lingkungan, air bersih dan sanitasi tinggi saja, seperti Amerika Serikat, cakupannya imunisasinya bahkan mencapai 97%.
“Di Indonesia baru 65%, paling kurang cakupan imunisasinya dibanding negara lain. Kita harus bekerja keras bagaimana imunisasi ini meningkat, supaya penyakit-penyakit yang bisa dicegah dengan imunisasi harus ditingkatkan,” kata Kusnandi.
Sumber: Suara Pembaruan