Jakarta, Beritasatu.com – Kontrol optimal serta deteksi dini penderita kencing manis atau diabetes melitus (DM) harus diterapkan untuk mencegah kerugian Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Penyakit kencing manis atau yang lebih dikenal dengan diabetes melitus (DM) saat ini diklaim sebagai bom waktu pembunuh bagi para pengidapnya. Jika tidak ditangani serius, pengidap bisa mengalami kerusakan organ tubuh yang sangat vital seperti jantung, hati, pankreas, dan ginjal.
Di tengah gaya hidup serba daring saat seseorang bisa melakukan beragam kegiatan tanpa bergerak sama sekali, potensi risiko terkena DM sangat besar. DM yang dulu hanya diidap oleh lansia, kini mulai menjangkiti generasi muda. DM yang disebabkan oleh gaya hidup ini dalam dunia medis disebut sebagai DM tipe 2.
Mayoritas penderita diabates di Indonesia tidak menyadari dirinya terkena DM2 selama bertahun-tahun dan baru terdiagnosis DM setelah mengalami komplikasi seperti komplikasi jantung dan ginjal.
Berdasarkan hasil studi Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (PKEK FKM) UI dengan menggunakan data klaim BPJS Kesehatan 2016, dari 18,9 juta peserta JKN yang mengakses perawatan lanjutan di rumah sakit, 812.204 (4%) teridentifikasi menderita DM2.
Dari 812.204 peserta yang terdiagnosis diabates, lebih dari setengahnya (57%) nya mengalami komplikasi dengan yang tertinggi adalah pada penyakit kardiovaskular (24%). Total biaya pengobatan DMT2 dan komplikasinya mencapai Rp 7.7 triliun rupiah pada 2016, dengan 74% biaya digunakan untuk manajemen penderita komplikasi terkait diabetes.
Pasien diabates dengan komplikasi juga rata-rata memiliki biaya dua kali lipat lebih besar dibandingkan pasien yang tidak mengalami komplikasi, rerata untuk laki-laki pertahunnya menyedot biaya 14 juta dan 11 juta per tahun pada perempuan.
Komplikasi yang banyak diderita oleh pasien DM2 berupa mikrovaskular, seperti nefropati (penyakit ginjal), retinopati (kerusakan pembuluh darah di retina), dan makrovaskular seperti stroke dan penyakit jantung.
BPJS Kesehatan mengakui dampak dari DM2 bisa menggerus pendanaan JKN di masa mendatang jika peserta tidak ditangani dengan sangat serius. Untuk memberikan gambaran lebih jelas, PKEKK FKM UI melakukan kajian mengenai beban biaya medis pasien DM2 dan konsekuensi finansial yang ditanggung oleh program JKN.
Dalam kajian itu ditemukan bahwa rata-rata biaya pengobatan langsung tahunan pada pasien DM2 adalah sebesar Rp 9,5 juta per orang. Pasien dengan komplikasi menghabiskan biaya rata-rata Rp 12,5 juta per tahun dan Rp 5,7 juta per tahun bagi pasien yang tidak memiliki komplikasi.
Pemantauan dan pengobatan DM2 sejak dini mutlak dilakukan di semua tingkat perawatan, mulai dari Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) seperti Puskesmas dan klinik yang ditunjuk BPJS Kesehatan, dapat mengoptimalkan cara yang efektif guna mendorong diagnosis dini dan mempertahankan kontrol glikemik pada pasien DM untuk meningkatkan hasil terapi.
Kontrol dini dapat dilakukan untuk mengontrol kadar gula darah pada pasien DM2 serta implikasinya mengurangi penggunaan layanan yang lebih mahal pada layanan Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL) jika pasien terkena komplikasi.
Untuk menyusun strategi pencegahan dan pengendaian DM2, perlu ditekankan bahwa tercapainya target gula darah merupakan kunci untuk menurunkan angka komplikasi dan menekan angka pembiayaan kesehatan DM akibat komplikasi.
Inovasi kebijakan terbagi menjadi inovasi jangka pendek dan jangka panjang, Pada inovasi kebijakan jangka pendek, kontrol dini wajib dilakukan untuk mencegah terjadinya komplikasi pada orang yang
sudah terdiagnosis DM2.
Kontrol dini dapat dilakukan dengan cara terapi yang optimal bagi penderita diabetes. Selain itu, perlunya sinkronisasi konsensus PERKENI dengan tata laksana regulasi diabetes pada program JKN agar seluruh pasien diabates pada program JKN dapat mendapatkan terapi yang optimal.
Intervensi jangka panjang, agar mengoptimalkan pencegahan dini melalui upaya preventif promotif untuk meningkatkan gaya hidup sehat pada masyarakat melalui aktifitas fisik dan diet sehat. Inovasi jangka panjang untuk mengoptimalkan community based screening untuk deteksi dini DM juga
perlu dilakukan.
Sumber: BeritaSatu.com