Jakarta, Beritasatu.com - Diabetes Melitus (DM) atau lebih dikenal dengan penyakit kencing manis tak hanya menimbulkan angka kesakitan dan kematian, tetapi juga pembiayaan yang tinggi. Tiap tahun BPJS Kesehatan yang mengelola program JKN-KIS harus mengeluarkan Rp 2 triliun lebih untuk membayar biaya layanan diabetes.
Besaran biaya juga cenderung meningkat tiga tahun terakhir. Di 2017, pengeluaran untuk DM sebesar Rp 2 triliun dari total biaya pelayanan kesehatan (pelkes) di tahun itu sebesar Rp84 triliun.
Pada 2018, dari total biaya pelkes Rp 94 triliun, sebesar Rp2,3 triliun untuk DM. Pun demikian pada 2019, biaya DM naik menjadi Rp 2,5 triliun dari total biaya pelkes di tahun yang sama sebesar Rp108 triliun.
Kenaikannya rata-rata 2% setiap tahunnya. Demikian pula dengan biaya untuk obat-obatan, DM termasuk dalam dominasi obat-obatan termahal selain hipertensi dan kardiovaskuler.
Jika tidak dilakukan intervensi yang tepat sejak dini, maka penanganan diabetes di pelayanan kesehatan diestimasikan mencapai Rp 199 triliun. Sebanyak Rp 142 triiliun di antaranya untuk pembiayaan komplikasi.
Ketua Center for Health Economics and Policy Studies (CHEPS) Universitas Indonesia, Budi Hidayat mengatakan dampak dari DM bisa menggerus keuangan BPJS Kesehatan jika peserta tidak ditangani dengan sangat serius.
“Ini diperlukan studi khusus dan mendalam, regulasinya juga harus dipikirkan oleh pemerintah,” kata Budi dalam webinar bertajuk Media Briefing “The Economic Burden of Diabetes and The Innovative Policy” yang diselenggarakan CHEPS UI, Jumat (13/11/2020).
Menurut Budi, peningkatan kasus DM ibarat bom waktu untuk siapa saja yang mengidapnya. Karena jika tidak ditangani dengan serius bisa terjadi komplikasi berupa kerusakan pada organ tubuh penderita yang sangat vital, seperti jantung, hati, pankreas dan ginjal.
Di tengah gaya hidup siber sekarang ini, orang cenderung menjadi malas bergerak. Beragam kegiatan bisa dilakukan tanpa barus bergerak sama sekali. Ini menyebabkan risiko terkena DM sangat besar.
Sekarang orang bisa melakukan berbagai pekerjaan dari tempat tidur, mulai dari menyelesaikan pekerjaan, bertransaksi keuangan, membeli makanan, memenuhi kebutuhan pribadi dan keluarga bisa dilakukan dari tempat tidur hingga tidur lagi. Akibatnya, DM yang dahulu kebanyakan diidap oleh lansia, kini mulai menjangkiti kalangan muda.
DM khususnya tipe 2 sering tidak menunjukkan gejala berarti, sehingga mayoritas penderita tidak menyadari dirinya terkena DM selama bertahun-tahun. Jika tidak diobati, pengidap penyakit ini akan mengalami kerusakan organ yang pasti namun berdurasi sangat panjang.
Menurut Budi, penanganan diabetes di JKN mengeluarkan biaya yang tinggi dengan mayoritas biaya liayaan digunakan untuk menangani komplikasi, mengingat 57% pasien DM khusus diabetes tipe 2 memiliki satu atau lebih komplikasi. Lalu 74% pembiayaan diabetes digunakan untuk mengobati komplikasi akibat diebetes. Biaya untuk mengobati komplikasi 2 kali lipat lebih tinggi dibandingkan non komplikasi.
Menurut Budi, ada langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk menurunkan komplikasi dan menekan pembiayaan komplikasi pada diabetes yaitu, mencetah terjadinya komplikasi pada orang yang sudah terdiagnosa diabetes dengan terapi optimal dan mencegah terjadinya diabetes pada orang yagn belum memiliki risiko diabetes.
Deputi Direksi BPJS Kesehatan Ari Dwi Aryani mengungkapkan, di tahun 2016, dari 18,9 juta peserta JKN-KIS yang mengakses perawatan lanjutan di rumah sakit, 812.204 (4%) teridentifikasi menderita DM tipe 2.
Sekitar 57% mengalami komplikasi, dengan penyakit kardiovaskular yang paling umum (24%). Total biaya pengobatan DM tipe 2dan komplikasinya mencapai US$576 juta atau setara RpRp8,6 triliun pada tahun 2016, di mana 74% biaya digunakan untuk manajemen penderita komplikasi terkait diabetes.
Oleh karena itu, pemantauan dan pengobatan DM tipe 2 sedari dini mutlak dilakukan di semua tingkat perawatan, mulai dari fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) seperti puskesmas dan klinik yang ditunjuk BPJS kesehatan.
Semua faskes juga perlu mengoptimalkan cara yang efektif untuk mendorong diagnosis dini dan mempertahankan kontrol glikemik pada pasien DM. Ini penting untuk meningkatkan hasil terapi dan kontrol serta mengurangi penggunaan layanan yang lebih mahal pada layanan Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL) yaitu rumah sakit.
Ketua Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (Perkeni), Ketut Suastika mengungkapkan bahwa diabetes merupakan bom waktu bagi penderitanya, mengingat menggerogoti hampir semua organ tubuh. Apalagi di tengah pandemi ini, diabetes mampu menurunkan imunitas yang mengakibatkan kita mudah terserang penyakit termasuk Covid-19.
Sumber: BeritaSatu.com