Jakarta, Beritasatu.com - Inovasi pendeteksi awal (skrining) Covid-19 karya Universitas Gadjah Mada (UGM) perlu dimonitor kehandalannya pascapemasaran. Hal ini sangat penting karena sistem yang mendeteksi Covid-19 dengan hembusan nafas ini mengandalkan basis teknologi kecerdasan buatan.
Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) sekaligus Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional, Bambang Brodjonegoro mengatakan, penelitian pascapemasaran perlu dilakukan untuk perbaikan dan akurasi.
"Tim GeNose juga bersama Kementerian Kesehatan bisa menetapkan harga batas atas deteksi seperti alat skrining lainnya," katanya dalam webinar seputar GeNose dan Alat Kesehatan di Jakarta, Jumat (15/1/2021).
Penyempurnaan yang juga perlu dilakukan antara lain, GeNose perlu terhubung ke sistem untuk mempermudah penggunanya menyimpan hasil. Selain itu GeNose juga perlu mematangkan konsep dan durasi pemeriksaan.
Perlu diakui inovasi karya anak bangsa pertama deteksi awal Covid-19 dengan hembusan napas ini patut diapresiasi. "Bagi kami GeNose adalah suatu inovasi untuk bisa mengurangi ketergantungan terhadap alat skrining yang berasal dari luar negeri," imbuhnya.
Bambang menambahkan, GeNose menjadi suatu terobosan karena sifat skriningnya yang tidak berbasis antibodi maupun antigen melainkan berbasis hembusan napas.
Wakil Menteri Kesehatan, Dante Saksono Harbuwono yang juga hadir dalam webinar ini mengatakan, untuk mendapatkan hasil skrining yang lebih akurat lagi GeNose C19 harus terus memodifikasi dan memperbarui, sebab alat skrining ini berbasis kecerdasan artifisial.
"Dikarenakan GeNose ini adalah kecerdasan artifisial kami harapkan dapat terus dimodifikasi sehingga ketajaman dalam melakukan skrining menjadi lebih sensitif," papar Dante.
Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Prof Amin Soebandrio juga berpendapat, dalam menghadapi suatu wabah atau pandemi harus ada kemampuan agar pandemi tidak terjadi semakin berat. Selain itu harus mampu mencegah dan mendeteksi.
Dalam kemampuan mendeteksi inilah GeNose akan lebih banyak berperan. Namun yang perlu dilakukan adalah sosialisasi hal yang tidak boleh dilakukan ketika seseorang akan diperiksa dengan GeNose seperti mengkonsumsi makanan beraroma kuat.
Hal senada disampaikan Ketua Persatuan Ahli Dokter Paru Agus Dwi Susanto mengungkapkan, riset pascapemasaran perlu dilakukan.
"Apakah ada pengaruhnya nafas perokok atau seseorang yang memiliki penyakit peserta seperti asma dan kanker, hal ini harus dilihat sejauh mana pengaruhnya," ucapnya.
Setelah mendapatkan izin edar dari Kementerian Kesehatan pada Desember 2020 lalu, GeNose kebanjiran pesanan. Tim GeNose menyebut hingga Februari 2021 sudah ada 3.000 pesanan.
Sebelumnya, GeNose sudah melakukan serangkaian uji klinik di sejumlah rumah sakit dan hasilnya sangat memuaskan. Deteksi awal dengan hembusan napas ini diminati karena dirasa lebih nyaman dibanding tes rapid antigen yang mengambil cairan dari hidung.
Sumber: BeritaSatu.com