Jakarta, Beritasatu.com- Epidemiolog Universitas Indonesia (UI), Tri Yunis Miko Wahyono mengatakan, vaksin Nusantara yang akan memasuki uji klinis tahap II tidak pantas disebut vaksin. Pasalnya, vaksin itu dikembangkan dari virus atau antigennya dan genetiknya. Sementara pengembangan vaksin Nusantara memanipulasi pendekatan terapi kanker, yakni penggunaan sel dendritik.
“Kalau bukan dari hal itu, jangan dianggap vaksin. Saya tahu bahwa vaksin Nusantara bukan itu, jadi itu bukan vaksin. Kalau disebut vaksin kebangetan untuk orang yang menyebutnya,” kata Tri kepada Beritasatu.com, Selasa (23/2/2021).
Tri mengusulkan, pengembangan vaksin Nusantara sebaiknya diganti nama bukan vaksin, tetapi obat atau istilah lain. “Disebut obat atau apa terserah. Kalau itu disebut obat silakan, asal jangan disebut vaksin,” kata Tri.
Tri menyarankan pemerintah untuk tidak fokus pada pengembangan vaksin Nusantara.
Sebagaimana diketahui, vaksin Nusantara ini merupakan inisiasi mantan Menteri Kesehatan (Menkes), Terawan Agus Putranto. Vaksin Nusantara menggunakan bahan serum darah dari masing-masing individu. Vaksin Nusantara ini merupakan vaksin personal berbasis sel dendritik (dendritic cell). Vaksin Nusantara yang mengandung vaksin dendritik, sebelumnya banyak digunakan untuk terapi pada pasien kanker, yang merupakan terapi yang bersifat individual. Vaksin dendritik tersebut diberikan untuk imunoterapi kanker, bukan karena setiap orang diberi jumlah sel dendritik, tetapi karena setiap orang sel dendritiknya bisa mendapatkan perlakuan yang berbeda-beda.
Sebelumnya, Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan(BPOM), Penny K. Lukito mengatakan, vaksin Nusantara ini masih dalam tahap evaluasi yang dilakukan oleh tim Direktur Registrasi BPOM.
Sumber: BeritaSatu.com