Jakarta, Beritasatu.com - Guru besar hukum pidana Universitas Padjadjaran Bandung Romli Atmasasmita menyatakan denda Rp 50 juta yang dijatuhkan Gubernur DKI Anies Baswedan kepada pemimpin Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Syihab merupakan penerapan aturan yang keliru, bahkan menyesatkan. Pasalnya, denda itu dijatuhkan berdasarkan Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Nomor 101 Tahun 2020 tentang Penerapan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan Sebagai Upaya Pencegahan dan Pengendali Corona Disease 2019. Seharusnya, Anies menerapkan UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
"Jadi penerapan (denda) itu menyesatkan. Penerapan denda kepada Rizieq itu sesat," kata Romli kepada Beritasatu.com di kantornya, Jakarta, Jumat (20/11/2020).
Diketahui, Pemprov DKI menjatuhkan sanksi Rp 50 juta kepada Rizieq lantaran menyelenggarakan kegiatan Maulid Nabi dan pernikahan putrinya di kediamannya di Petamburan, Jakarta Pusat, Sabtu (14/11/2020). Kegiatan Maulid Nabi dan pernikahan tersebut menciptakan kerumunan dan melanggar protokol kesehatan pencegahan penyebaran virus corona. Apalagi, Pemprov DKI telah memperpanjang masa pembatasan sosial berskala besar (PSBB) transisi.
Romli menjelaskan Pergub 101/2020 tidak tepat diterapkan kepada Rizieq atas kegiatan Maulid Nabi dan acara pernikahan putrinya. Pergub 101/2020 hanya mengatur mengenai pelaku usaha, perkantoran, tempat kerja, industri dan tempat wisata, sementara pelanggaran yang dilakukan Rizieq Syihab tak berkaitan dengan kegiatan usaha atau perkantoran. Rizieq Syihab sendiri bukan pelaku usaha.
"Pergub 101/2020 memang ada sanksi, tetapi untuk pelaku usaha. Sejak awal pergub itu menyebutkan pelaku usaha. Rizieq kan bukan kantor, bukan restoran," katanya.
Menurut Romli, aturan yang tepat diterapkan terhadap Rizieq adalah UU 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Pasal 93 UU 6/2018 menyatakan,"Setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan kekarantinaan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan/atau menghalang-halangi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan sehingga menyebabkan kedaruratan kesehatan masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama satu tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 100 juta." Ancaman pidana yang diatur dalam Pasal 93 UU 6/2018, kata Romli, berlaku bagi setiap orang. Dengan demikian, jika terdapat 1.000 orang yang melanggar UU tersebut, maka setiap orang dapat dikenakan Pasal 93 UU 6/2018.
"Kalau ada kerumunan 3.000 orang, suruh bayar masing-masing," katanya.
Selain soal aturan yang diterapkan, Romli juga menyoroti mengenai tahapan penjatuhan denda yang dilakukan Pemprov DKI terhadap Rizieq. Menurutnya, pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan tidak dapat dijatuhi hukuman oleh pemprov melalui Satpol PP. Setiap pelanggaran seharusnya melalui proses hukum yang berlaku dan diputus oleh pengadilan.
"Kapan (penjatuhan hukuman) itu terjadi, kalau sampai ke pengadilan, bukan Satpol PP yang menentukan. Dari mana Satpol PP menentukan (hukuman). Penyidik polisi saja tidak boleh. Ketika Satpol PP yang merupakan PPNS itu menangani suatu kejadian, wajib lapor ke polisi dengan menyampaikan SPDP. Polisi melakukan supervisi. Kalau diadili kena yang tadi (Pasal 93 UU 6/2018). Bui satu tahun dan atau denda Rp 100 juta. Bisa kumulatif atau tidak, biar hakim yang memutuskan. Tidak bisa berhenti di Satpol PP," tegasnya.
Lebih jauh, Romli menyatakan Rizieq juga seharusnya menjadi pihak yang bertanggung jawab atas kerumunan yang beberapa kali diciptakannya, termasuk saat tiba di Indonesia pada Selasa (10/11/2020). Meski mengklaim tidak meminta pengikutnya untuk menjemput di Bandara Soekarno-Hatta, secara moral Rizieq bertanggung jawab atas kerumuman yang terjadi.
"Rizieq ini datang ke Indonesia dalam kuruman massa yang banyak itu saja sudah keliru, sudah enggak benar. Artinya peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan pemerintah mengenai PSBB segala macam itu dilanggar sampai ketika acara pernikahan. Jadi bukan hanya ketika pernikahan masalah dia, juga ketika penjemputan," kata Romli.
Kepala daerah, lanjutnya, juga tidak bisa lepas tangan atas pelanggaran protokol kesehatan yang dilakukan Rizieq. Pelaksanaan PSBB atau sejenisnya merupakan tanggung jawab kepala daerah. Untuk itu, dengan mendiamkan terjadinya pelanggaran protokol kesehatan, pemerintah daerah secara tidak langsung telah mengizinkan terjadinya pelanggaran. Padahal, UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda) mewajibkan setiap kepala daerah untuk mematuhi peraturan perundang-undangan.
"Membenarkan kerumunan yang begitu rupa melanggar UU. Kita yang orang luar saja kalau ada kejadian perkara harus lapor, apalagi pejabat yang menurut UU Pemda wajib melaksanakan ketentuan perundang-undangan," tutupnya.
Sumber: BeritaSatu.com