Jakarta, Beritasatu.com - Pengamat Tata Kota dari Universitas Trisakti Nirwono Joga menilai program normalisasi dan naturalisasi tidak perlu diperdebatkan dan dipertentangkan. Menurut Nirwono, kedua program tersebut seharusnya dipadukan dalam penataan sungai di Jakarta sebagaimana terjadi di banyak kota di Eropa, Australia, dan Amerika Serikat.
“Jadi, keduanya tidak perlu dipedebatkan apalagi dipertentangkan. Dipadukan saja untuk menata air di Jakarta,” ujar Nirwono saat dihubungi, Kamis (25/2/2021).
Normalisasi, kata Nirwono, erat kaitannya dengan betonisasi dan naturalisasi terkait penghijauan sungai dan bantar sungai dengan tanaman. Padahal naturalisasi, kata dia sebenarnya termasuk dalam normalisasi sungai.
Normalisasi, tutur Nirwono, adalah upaya upaya mengembalikan atau mempertahankan bentuk alami sungai yang berliku-liku secara alami, memperlebar kembali badan sungai dan mengeruk kedalaman sungai agar kapasitas daya tampung sungai mendekati daya tampung semula dan ideal.
“Jadi, normalisasi sebenarnya mencakup konsep naturalisasi untuk menghijaukan kembali bantaran sungai agar tanaman bisa menyerap air luapan dan mengurangi debit air banjir,” tandas dia.
Dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 28/PRT/M/2018 tentang Penetapan Garis Sempadan Sungai dan Garis Sempadan Danau ditetapkan bahwa garis sempadan sungai tidak bertanggul di dalam kawasan perkotaan berjarak 10 meter dari tepi kiri dan kanan palung sungai dengan kedalaman sungai kurang dari atau sama dengan 3 meter, 15 meter (3-20 meter), dan 30 meter (lebih dari 20 meter).
Sementara itu, garis sempadan sungai bertanggul di dalam kawasan perkotaan minimal berjarak 3 meter dari tepi luar kaki tanggul. Garis sempadan sungai adalah garis maya di kiri dan kanan palung sungai yang diterapkan sebagai batas perlindungan sungai.
Sementara naturalisasi, lanjut Nirwono, adalah upaya mengembalikan bentuk sungai ke kondisi alami, meliak-liuk bak ular, tampang melintang bervariasi, dan ditumbuhi tanaman lebat sebagai habitat organisme tepian sungai. Bantaran sungai dihijaukan dengan tanaman yang berfungsi sebagai hidrolis-ekologis alami, mencegah erosi dasar dan tebing sungai, serta meredam banjir.
“Saat hujan, tanaman di sepanjang sungai akan menghambat kecepatan aliran, muka air naik dan menggenangi bantaran dan tanaman di jalur hijau, yang secara alami memang dibutuhkan untuk ekosistem pendukung kelangsungan keanekaan hayati tepian sungai. Banyak kota di Eropa, Australia, dan Amerika Serikat yang memadukan pendekatan normalisasi dan naturalisasi dengan serasi dalam penataan sungainya,” jelas Nirwono.
Nirwono menegaskan baik normalisasi maupun naturalisasi membutuhkan relokasi warga dari pinggiran sungai. Karena keduanya membutuhkan lahan yang besar untuk memperlebar dan memperdalam sungai untuk meingkatkan kapasitas sungai dan memiliki sempadan sungai yang optimal.
Garis sempadan sungai harus mempertimbangkan karakteristik geomorfologi sungai, tata ruang kota, kondisi sosial-budaya masyarakat setempat, serta ketersediaan jalan akses bagi kegiatan pengawasan dan pemeliharaan sungai.
“Karena itu, Pemerintah DKI berkewajiban menertibkan semua bangunan yang berada di dalam sempadan sungai, mengembalikan fungsi sempadan sungai, serta merelokasi permukiman warga. Badan sungai difungsikan kembali sebagai pengendali banjir, penyuplai cadangan air, dan pelestarian ekosistem habitat satwa liar,” terang dia.
Karena itu, Nirwono mendorong Pemprov DKI untuk memperkuat sosialisasi kepada warga di sekitar bantaran sungai agar secara sukarela mau direlokasi tempat terdekat yang aman dari bencana, ke permukiman hunian (vertikal) yang lebih layak huni dan terpadu. Warga juga perlu diberikan pengetahuan dan wawasan risiko tinggal di daerah rawan banjir dan longsor.
Sumber: BeritaSatu.com